ini adalah versi SINGKAT dari cerita live in saya untuk memenuhi tugas KWN. Versi lebih panjangnya akan dipublish dalam beberapa parts.
Live in? Apa itu live in? Semua orang begitu heboh ketika
membicarakan live in. Jujur, aku
sendiri antara senang dan takut menghadapi live
in ini. Tinggal di desa bersama orang yang sama sekali tidak dikenal, menjalani
hidup super sederhana di desa, dan yang paling menyeramkan, tidak ada internet
selama lima hari!
Berhubung live in adalah kegiatan wajib, jadi mau
tidak mau aku harus mengikutinya. Tapi, semua gundahku hilang semakin tanggal
10 September 2011 datang. Kesibukan sekolah dan hiruk pikuk kota membuatku
butuh untuk pergi ke tempat yang lebih tenang untuk beberapa hari. Jadi,
kusambutlah live in dengan senyuman
lebar. Setidaknya, itu yang kurasakan seminggu sebelum pergi live in.
Perisapan live in ini tidak hanya memakan sehari
dua hari saja, melainkan berbulan-bulan. Bahkan, sudah dimulai sejak kelas 11.
Selain persiapan biaya, kami juga disiapkan untuk mengetahui apa yang akan kami
lakukan di sana bersama teman-teman satu rumah, juga satu desa. Entah ada
konspirasi apa (setidaknya itu kata teman-teman yang iri), aku terdampar
bersama adik angkatku dalam sebuah rumah entah milik siapa di Desa Candirejo.
Adik angkatku,
Janet, sudah dua tahun kuangkat menjadi adik tanpa alasan apapun. Sama seperti
saudara dan saudari angkatku yang lain. Tanpa ada alasan spesifik, tiba-tiba
status mereka dari “teman” berubah menjadi “saudara angkat”. Tidak hanya adik
angkat, Janet adalah teman yang setiap hari selalu bersamaku. Kami sering
meluangkan waktu bersama, mengobrol bersama, jalan-jalan bersama, dan kegiatan
lain yang biasa dilakukan oleh teman dekat.
Dalam acara sekolah
semacam ini, biasanya teman-teman yang dekat selalu dipisah. Tetapi, dalam
kasusku malah sebaliknya. Karena itu semua orang iri kepadaku.
Satu hari sebelum live in, gundahku kembali. Antara ingin
pergi dan tidak mau pergi. Hari itu, aku mengantar kedua orang tuaku ke
bandara. Mereka akan pergi ke luar negeri. Tidak, aku tidak iri. Memang, sih,
beda jauh antara luar negeri dan sebuah desa di Wonosari. Tetapi, aku jauh
lebih memilih live in dari pada ikut
orang tuaku, karena dalam grup tour mereka hanya ada orang-orang tua yang
membosankan.
Aku mulai ragu lagi
karena ini pertama kalinya aku pergi ketika orang tuaku juga pergi. Dengan kata
lain, rumahku akan 100% kosong (walau ada pembantu juga, sih). Tetapi,
pembantuku tidak diijinkan untuk masuk ke dalam rumah ketika tidak ada orang
selain mereka di rumah. Kami mengunci semua pintu yang bisa menjadi akses masuk agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan ketika kami tidak ada di rumah untuk memantau. Jadi,
pembantuku hanya dapat berada di kamarnya, tempat cucian, dapur, dan taman.
Memang, tidak selama
lima hari itu rumah akan tertutup. Oomku akan datang untuk memantau dan
membukakan pintu agar rumah dapat dibersihkan. Tetap saja, aku tidak rela
meninggalkan rumah ini kosong.
Hari H datang. Sabtu
itu, semua peserta live in diliburkan
dan baru diminta hadir pukul 13.00 WIB di sekolah. Liburnya supaya kami bisa
lebih memperisapkan diri.
Pagi itu, aku bangun
pukul tujuh untuk mulai mempersiapkan bekal makan siang dan makan malam selama
di bus. 15 jam perlajanan dari BSD ke Wonosari tidak mungkin kami lewati tanpa
makan ataupun minum. Aku memutuskan untuk membuat sebuah makanan yang tiba-tiba
muncul di kepalaku semalam sebelumnya, Chicken with Mashed Potato dari Garuda
Indonesia. Makanan itu hanya fillet dada ayam yang dibumbui kecap dan dimakan
bersama kentang yang dihaluskan, juga sayur-sayuran dingin.
Memakan waktu agak
lama untuk membuatnya karena aku belum pernah membuatnya sebelumnya. Pada
akhirnya, dengan perasaan dan pengetahuan seadanya, aku berhasil membuat
makanan itu. Kali ini, aku tidak akan memakannya di atas awan, melainkan di
daratan.
Meninggalkan rumah
dengan berat hati pukul 12, aku sampai di sekolah pukul 12.30. Pukul 13.00 ada
misa live in. Sebelum berangkat, kami
berkumpul terlebih dahulu di hall per bus, lalu baru diberangkatkan ke bus
masing-masing. Aku berada di bus satu dan entah kebetulan atau disengaja, aku
ditempatkan di bus yang berwarna oranye (warna favoritku). Lalu kami berangkat.
Perjalanan terasa
sangat lama. Aku merasa tidak nyaman duduk di dalam bus selama berjam-jam,
walau kami berhenti untuk toilet setiap dua sampai tiga jam sekali. Aku tidak
bisa tidur di bus karena busnya ugal-ugalan dan aku yang duduk di kursi bagian
dalam (bukan di samping jendela) selalu terpental ke arah lorong. Alhasil,
setiap lima belas menit sekali, aku terbangun padahal baru saja menginjak alam
mimpi.
Kami tiba di Desa
Kelor, Wonosari, pukul enam pagi. Kami diberi minum the hangat dan makan pagi. Selain
itu, kami diperbolehkan untuk cuci muka, gosok gigi, dan melakukan panggilian
alam. Tetapi, berhubung toilet yang ada hanya sedikit, empat, dan otomatis
terbagi menjadi dua toilet perempuan dan dua toilet laki-laki, antriannya
sangatlah tidak manusiawi. Untuk mengantri toilet saja bisa memakan waktu empat
puluh lima menit.
Sekitar pukul Sembilan, kami sudah berbaris
kembali per desa untuk kemudian naik truk (semacam truk untuk mengangkut sapi)
yang akan mengantar kami ke desa kami masing-masing. Dalam perjalanan, ada satu
hal yang membuat perjalanan di atas truk sebagai “sapi-sapi Santa Ursula”
menjadi sedikit lebih menarik. Kami melewati sebuah pohon yang sangat tinggi
dan besar. Dahan-dahannya membentuk payung di atas jalan raya. Kalau hari
sedang panas, di bawah sana pasti teduh sekali. Kalau boleh, aku ingin berhenti
di sana dan duduk di bawah sana berjam-jam. Sayangnya tidak boleh.
Kurang lebih dua
puluh menit sampai setengah jam, kami sampai di Candirejo. Kami diturunkan di
sebuah gereja kecil dimana sudah banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang menunggu.
Merekalah calon ibu dan bapak angkat kami selama lima hari di Candirejo.
Kedatangan kami
diawali dengan pembukaan, perkenalan, dan beberapa kata pengantar lainnya. Kemudian
kami diperkenalkan dengan orang tua angkat kami dan langsung dibawa pulang.
Aku dan Janet
diserahkan kepada seorang ibu bernama Ibu Maria Sarisih. Kami pun langsung
mengikuti Ibu Sarisih ke luar gereja, menuju ke rumahnya.
Dalam perjalanan
menuju ke rumah Ibu Sarisih, kami berhenti sebentar di pasar untuk mengambil
gelas-gelas, termos, dan beberapa teko. Ibu Sarisih adalah seorang penjual wedang
(minuman teh). Pertama-tama, si Ibu menolak untuk dibantu. Maklum, baru
kenalan. Tetapi, karena kami memaksa, akhirnya kami diperbolehkan untuk
membantu, tetapi membawa teko dan termos saja, karena gelas-gelasnya berat.
Rumah Ibu Sarisih
tidak jauh dari pasar. Hanya menyebrang jalan raya, lalu rumahnya ada di bagian
belakan sebuah toko sembako. Jalan menuju rumah si Ibu tidaklah sebuah jalanan
aspal atau jalanan lainnya yang halus, melainkan berbatu-batu gunung dan harus
berhati-hati agar tidak terpeleset.
Jauh dari gambaran
rumah-rumah semen seperti yang kami lewati saat menuju ke Candirejo, rumah Ibu
Sarisih merupakan rumah Jawa kuno yang belum memakai batako ataupun beton
sebagai dinding. Benar-benar, inilah rumah yang pertama kali tergambarkan di
pikiranku ketika mendengar kata live in.
Padalah, ketika melewati rumah-rumah di jalan raya, yang sudah pakai semen dan
lantainya keramik, aku sudah senang. Kenyataannya berbeda.
Selain dinding dari
triplek, lantai di ruang tamu dan ruang tidur adalah batu-batu gunung yang
berbentuk persegi. Sedangkan di dapur, lantainya tanah. Di sebelah dapur, ada
kandang kambing. Di luar rumah, ada lapangan yang lumayan luas dan ditumbuhi
beberapa pohon jati yang masih kurus. Dan toilet, tidak ada di dalam rumah. Ada
di belakang rumah, hanya sebuah lubang kecil di dalam tanah yang ditutupi
seng-seng agar kalau buang air kecil (atau besar) tidak dilihat orang secara
langsung. Benar-benar rumah yang paling cocok untuk live in.
Sesampainya di
rumah, kami meletakkan tas kami di dalam kamar, lalu duduk di ruang tengah
bersama si Ibu. Mulailah kami berkenalan satu sama lain. Si Ibu memulai dengan
menceritakan tentang dirinya. Si Ibu tinggal sendiri di rumah itu. Tiga orang
anaknya semua sudah berkeluarga, dua di Solo, satu di seberang rumah. Suaminya sudah
lama meninggalkannya ketika anak-anaknya masih kecil. Si Ibu tidak mau menikah
lagi karena tidak mau anak-anaknya memiliki ayah tiri, takut kalau sering
bertengkar. Jadi, si Ibu banting tulang sendirian untuk menghidupi dirinya dan
anak-anaknya sampai sekarang, anak-anaknya sudah sukses semua. Di umurnya yang
sudah cukup tua, 65 tahun, Ibu Sarisih adalah wanita yang sangat mandiri dan
enggan dimanja oleh anak-anaknya. Ia tidak mau diajak tinggal bersama mereka. Ia
tetap mau tinggal di rumahnya ini dan mencari nafkah sendiri. Kata si Ibu,
selama masih bisa mencari uang sendiri, masih kuat, ia tidak mau membebani
anak-anaknya.
Benar-benar
mengharukan. Perjuangan seorang ibu itu memang tiada habisnya demi anak-anaknya.
Salut buat Ibu Sarisih.
Setelah
cerita-cerita sambil makan kerupuk, kami membuat makan siang.
Aku sangat bahagia
ketika menginjakkan kaki di dapur. Kompornya pakai kayu bakar! Kapan lagi bisa
memasak dengan kompor kayu bakar kalau bukan di pedesaan? Dengan antusias aku
memaksa si Ibu agar memperbolehkan aku dan Janet untuk membantu memasak. Sebelumnya
si Ibu sangat melarang-larang kami untuk membantunya. Takut kepanasan atau
apalah. Padahal aku dan Janet setiap hari kerjanya nongkrong di dapur.
Kami membuat tempe
mendoan siang itu. Urusan masakan tradisional, aku angkat tangan. Disinilah kesempatanku
untuk mempelajari cara memasak makanan tradisional. Kadang bosan juga dengan
makanan Eropa yang hampir setiap hari kuhidangkan di rumah.
Usai masak, kami
makan, dan kembali cerita-cerita. Menjelang sore, kami pergi ke rumah anaknya
yang di seberang. Hanya beberapa meter melewati jalan menanjak yang berbatu.
Rumah itu adalah
milik Pak Dwi, anaknya yang kedua. Tidak seperti rumah ibunya, rumah Pak Dwi
sudah berdinding semen dan berlantai keramik. Di dalam rumahnya juga ada kamar
mandi dan keran air yang mengalirkan air bersih. Kami dapat mandi dan melakukan
segala panggilan alam di sana.
Saat itu, Pak Dwi
dan istri sedang tidak ada di rumah. Anak-anaknya pun tidak ada. Hanya ada
besan dari si Ibu. Lalu, kami menumpang mandi di sana (setelah satu hari lebih
tidak mandi).
Malamnya, kami
kembali menyiapkan makan, makan malam, mengobrol-ngobrol lagi, dan kami tidur
pukul Sembilan. Bukan main ngantuknya waktu itu. Kami tidur di dalam kamar,
sedangkan si Ibu di ruang tengah, kasur yang berada tepat di depan tv. Katanya,
si Ibu memang selalu tidur di sana, sambil nonton tv. Kamar hanya dipakai kalau
ada yang live in. Benar-benar si Ibu
sangat baik.
Tak kusangka-sangka,
ternyata aku tidak home sick. Malam itu aku tidur dengan sangat nyenyak,
walau harus berdempet-dempetan dengan adikku. Hanya saja, paginya aku
terbangunkan oleh mati lampu dan pengumuman dari masjid kalau ada yang
meninggal.
Paginya, kami
dibangunkan oleh si Ibu dan langsung bantu-bantu menyiapkan untuk makan pagi,
lalu pergi ke tempat Pak Dwi lagi untuk menumpang mandi.
Seusai makan pagi,
si Ibu pergi melayat. Kami tidak diajak karena katanya si Ibu akan pergi lama. Sembari
menunggu, ternyata kami dihampiri oleh Ibu Marcel dan Ibu Lely. Sharing sedikit
tentang kesan-kesan satu hari yang kurang lebih masih dalam proses beradaptasi.
Tak lama setelah kedua guru kami pergi, si Ibu pulang. Lalu, kami
mengobrol-ngobrol lagi. Sambil mengobrol, tiba-tiba dari kejauhan, dari arah
rumah Pak Dwi, muncul Stefani dan Valeri bersama ibu angkatnya. Mereka baru
dari tempat orang melayat.
Mereka kemudian
berhenti sebentar untuk berkunjung dan mengobrol-ngobrol. Lalu kami sharing
tentang rumah kami masing-masing. Rumah Stefani dan Valeri ternyata beda jauh
dari rumah aku dan Janet. Rumah mereka sudah berdinding semen, berlantai keramik,
dan semuanya katanya sudah seperti di rumah mereka sendiri.
Setelah mereka pamit
pergi, pekerjaanku yang sebenarnya menyambut. Cuci gelas. Gelas-gelas yang
kemarin diambil di pasar tidak langsung dicuci. Berhubung si Ibu jualan wedang hanya
hari Legi dan hari Pahing. Mencuci gelas-gelas ini ternyata tidak mudah dan
memakan waktu yang cukup lama. Ada lebih dari 50 gelas yang kami cuci. Usai
mencuci gelas, kami sudah harus siap-siap untuk berkumpul kembali di gereja
untuk sharing bersama.
Malam harinya,
setelah mandi dan makan malam, kami kembali ke rumah Pak Dwi dan menunggu
kepulangan Pak Dwi hingga pukul 11 malam. Jujur, aku begitu tak sabar saat
menunggu. Kantukku sudah menjadi-jadi dan aku butuh tidur saat itu juga.
Tidur terlalu malam
itu membuat aku dan adikku tidak bisa bangun pagi esok harinya. Ibu pun tidak
berani membangunkan kami karena saat malam kami tidur terlalu malam. Akhirnya kami
dibangunkan oleh Ibu Marcel yang pagi-pagi sudah mengunjungi kami. Dan kena
marahalah kami berdua.
Setelah kedua guru
kami pergi, kami langsung disuruh mandi oleh si Ibu. Usai mandi, kami
menyiapkan makan pagi dan makan.Si Janet ternyata tidak enak badan. Akhirnya,
aku yang membantu cuci-cuci piring. Selesai cuci piring, aku dan ibu pergi
untuk mencari obat.
Setelah
keliling-keliling mencari guru-guru yang membawa obat, usaha kami sia-sia. Mereka
tak ada di manapun. Lalu kami mencoba mencari di warung, juga tidak ada. Akhirnya
kami mengunjungi rumah Stefani dan Valeri sebentar, lalu kembali pulang.
Sesampainya di
rumah, kami kembali masak. Janet masih beristirahat di kamar. Saat memasak, si
Ibu kembali cerita-cerita dan kembali mengungkin soal betapa sayangnya ia kepada
anak-anaknya dan betapa anak-anaknya juga sayang kepadanya. Katanya,
anak-anaknya mengerti penderitaannya, jadi mereka tidak mau menjahati ibunya. Dan
kalimat terakhirnya yang membuatku ingin cepat-cepat pulang. “Anak-anak jaman
sekarang, orang tuanya sudah baik kepada mereka, tapi mereka tidak mau baik
kepada orangtuanya. Malah suka melawan. Tidak boleh begitu, durhaka!”
Lalu aku terdiam dan
teringat betapa aku seperti itu. Ingin rasanya nangis di tempat, tetapi
berhubung saat itu hatiku sedang kacau, tidak bisa dengan baik merasakan
apa-apa, jadi aku tidak bisa menangis. Alhasil, aku hanya bisa berkata dalam
hati, “Mami, aku kangen! Aku mau pulang!”
Untungnya, sih,
hubunganku dengan mamiku jauh lebih baik dari pada waktu dulu. Kami sudah
jarang bertengkar, jarang saling teriak-teriakan, bahkan jarang mengobrol,
sebenarnya. Ya, salah satu alasan mengapa kami sering bertengar adalah obrolan
kami. Entah mengapa aku dan mamiku tidak pernah sepikiran. Tetap, aku tahu mami
sebenarnya sayang. Hanya saja cara menyampaikan rasa sayangnya kadang bikin aku
geregetan.
Percuma juga
sebenarnya kalau aku minta pulang saat itu juga. Toh, tidak ada orang di rumah.
Mamiku baru pulang sekitar tiga hari setelah kepulanganku. Jadi, aku pergi
tidak ada yang mengantar dan aku pulang tidak ada yang menjemput. Seperti setan,
ya?
Usai memasak, kami
makan siang, cuci piring, lalu si Ibu pamit pergi entah ke mana dan kami
ditinggal saja di rumah.
Sebenarnya, live in ini tidak terasa live in sama sekali. Orang tuaku sama
saja seperti yang di rumah, hobi meninggalkanku sendirian. Juga tidak banyak
pekerjaan yang bisa kulakukan. Bedanya, live
in ini aku terputus dari dunia maya selama lima hari dan ini membuatku
resah. Ingin rasanya live in cepat
berakhir karena aku sejujurnya tidak merasakan sesuatu yang berbeda.
Sorenya, kami
kembali pergi ke gereja untuk sharing, dan malam harinya kegiatan kami sama
seperti malam sebelumnya. Kami pun kembali ke rumah pukul sebelam malam lagi.
Esok paginya, kami
bangun pukul empat pagi. Hari itu si Ibu akan berjualan di pasar. Karena itu
harus pagi-pagi sekali memanaskan air dan menyiapkan semuanya.
Karena kami bangun
terlalu pagi, kami sama sekali tidak cuci muka ataupun gosok gigi pagi itu. Pak
Dwi dan keluarga belum ada yang bangun satupun dan kami tidak bisa gosok gigi
dan cuci muka karena air tampungan di luar sudah kotor.
Dari jam empat
sampai jam lima, kami menunggui air mendidih. Aku masih belum 100% sadar. Daripada
kembali lagi tidur, aku memilih untuk duduk di depan kompor dan menikmati
panasnya api yang menyala dari kelima kompor yang ada.
Pukul enam pagi,
kami sudah mulai membawa peralatan ke pasar. Kami mulai mengisi gelas dengan
teh dan gula. Tidak lama, kegiatan pasar dimulai dan kami mulai mengelilingi pasar
sambil membawa nampan penuh dengan gelas-gelas teh. Satu gelas yang kecil
harganya Rp 500,00 dan gelas yang besar seharga Rp 1.000,00.
Satu nampan terisi
dari dua belas gelas dan itu semua berat sekali. Aku sebagai mantan panitia
perlengkapan di segala acara di sanur merasa kalau ini lebih berat daripada
meja untuk open house. Aku bingung bagaimana si ibu, yang sudah setua itu, bisa
mengangkan satu nampan ini sendirian tanpa merasa berat sekalipun. Salut!
Setelah selesai
mengantarkan semua teh ke para pelanggan, kami berisitirahat sebentar. Lalu, si
Ibu membelikan kami beberapa jajanan pasar untuk makan pagi.Tidak lupa, kami
mencoba nasi tiwul.
Usai makan, kami
kembali keliling membawa teko dan termos berisi penuh air teh untuk kembali
mengisi gelas-gelas teh para pelanggan yang sudah mulai kosong. Aku jadi merasa
seperti pelayan di Sushi Tei yang memberikan refill Ocha kepada pelanggan.
Kami pulang paling
terakhir dari pasar. Menunggu semua sudah selesai dan mengumpulkan kembali
gelas-gelasnya. Selain itu, si Ibu juga mengumpulkan sisa-sisa sayur-sayuran
untuk pakan kambing.
Sepulang dari pasar,
kami makan semangka sambil member makan kambing. Dan untuk pertama kali seumur
hidup, aku berhasil memegang kambing!
Lalu aku dan Janet
mandi terlebih dahulu sebelum makan siang. Lumayan parah tidak gosok gigi di
pagi hari.
Menjelang sore, saat
kami akan pergi ke gereja untuk sharing lagi, si Ibu pergi ke Solo untuk
menjenguk orang sakit. Sepulang dari refleksi, si ibu belum juga pulang. Bosan tidak
ada kerjaan, akhirnya kami memutuskan untuk mencuci gelas, berhubung besok
sudah pulang. Kami berhasil mencuci gelas-gelas itu dalam dua jam. Dan sampai
kami selesai pun si Ibu belum pulang.
Saat Ibu pulang, ia
begitu terburu-buru. Ia khawatir dengan kami berdua karena ia pulang sangat
terlambat. Kami meyakinkan Ibu kalau kami tidak apa-apa.
Malam itu ada acara
doa lingkungan di rumah salah satu orang tua angkat teman kami. Sebelum pergi,
kami makan malam terlebih dahulu, baru pergi. Saat makan, si Ibu terlihat
begitu sedih. Mungkin karena kami akan pulang besok. Ah, kasihan si Ibu.
Lalu, kami pergi ke
doa lingkungan. Di perjalanan, kami berpas-pasan dengan para ibu guru dan juga
Vicky, Vina, dan orang tua angkatnya. Malam itu, doanya memakai bahasa
Indonesia karena ada kami, para anak-anak dari Jakarta yang mengerti Bahasa
Jawa baru sedikit-sedikit, bahkan mungkin ada yang belum mengerti sama sekali.
Setelah berdoa, kami mengobrol-ngobrol dengan teman-teman yang lain sambil
menikmati snek yang disediakan oleh pemilik rumah.
Setelah pulang dari
doa, kami langsung merapikan perlengkapan kami agar esok pagi langsung bisa
dibawa.
Pagi datang begitu
cepat. Seperti biasa, kami membantu menyiapkan makan pagi, mandi, dan makan
pagi. Saat makan pagi hari itu, si Ibu kemudian menangis, belum rela ditinggal
oleh dua anak angkatnya yang cerewet. Lalu kami menangis dan berpeluk-pelukan
saat makan pagi. Aku masih belum bisa menangis.
Seusai makan pagi,
kami di rumah, menunggu datangnya jam sepuluh. Sembari menunggu, si Ibu kembali
menghilang. Ia kemudian kembali membawa banyak sekali keripik singkong untuk oleh-oleh,
juga sekantong tempe mendoan untuk di jalan. Benar-benar si Ibu niat sekali
membawakan kami oleh-oleh. Bahkan ia berkata kalau orang tua kami tidak suka
dibuang saja, tidak apa-apa. Tidak mungkin oleh-oleh ibu kubuang! Lagipula orang
tuaku tidak separah itu. Pasti mereka mau mencoba tempe mendoan itu, sayangnya
orang tuaku pulangnya masih agak lama,
jadi tidak mungkin tempe itu bisa bertahan selama itu.
Pukul sepuluh datang
begitu lama. Kami akhirnya meninggalkan rumah. Berpamitan dengan rumah, juga
kambing. Si Ibu ikut mengantar kami ke gereja. Sesampainya di sana, kami
menunggu semua hadir, lalu kami tutup dengan kata penutup, ucapan terima kasih,
dan doa. Setelah itu, kembali acara tangis menangis bersama orang tua angkat
sembari menunggu truk yang akan membawa kami kembali ke Kelor datang. Tetap,
aku tidak bisa menangis.
Perjalanan pulang ke
Kelor terasa lebih lama dari pada waktu kami datang. Aneh, harusnya saat datang
yang terasa lebih lama, bukan saat pulang.
Di Kelor, kami makan
siang, lalu kembali ke bus yang akan membawa kami ke BSD. 15 jam lagi harus
kulewati di atas bus.
Saat sampai di BSD,
kepalaku benjol. Aku duduk di kursi jendela kali ini dan saat tidur, kepalaku
terbentur-bentur dengan jendela. Alhasil, sakit sekali!
Setelah pengarahan
sebentar, aku pulang ke rumah, makan pagi, mandi, lalu tidur sampai siang.
Live in ku tidak berhenti sampai di sini saja. Esok harinya, hari
Sabtu, aku harus kembali ke sekolah untuk sharing dan refleksi kembali. Lalu,
menyiapkan kegiatan yang akan dilakukan untuk menanggapi
keprihatinan-keprihatinan yang dapat kita tangkap dari keadaan desa tersebut. Kalau
mau dibilang, hingga sekarang kegiatan live
in belum berakhir karena sampai sekarang kami masih melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang dapat kami lakukan untuk desa-desa kami.
Live in memang pengalaman yang tidak dapat didapatkan di sembarang
tempat. Aku benar-benar merasakan live in
yang sesungguhnya, walau bagian mandi di sungainya tidak ada. Tinggal di desa
bersama seorang ibu yang sudah sangat tua, di rumah yang masih sangat kuno
tanpa kamar mandi. Memang aku kurang menikmati saat aku di sana. Mungkin kalau
ada internet, aku bisa lebih tahan. Mau disuruh tinggal di sana sebulan mungkin
kuat.