Tuesday, 20 September 2011

Pesan di Botol


                Suatu hari ku berjalan di tepi pantai, menikmati ombak yang berderu tenang bersama angin laut yang berbisik merdu di telingaku, membelai rambutku, mencium bibirku. Aku menghirup nafas dalam, membiarkan aroma laut masuk memenuhi paru-paruku dan biarlah ia di sana. Matahari sudah tidak lagi berada di atas kepalaku, melainkan tepat di depanku, di ujung horizon, siap meninggalkan langit di atasku. Jingga di kaki langit bagai cat yang disapukan di atas kanvas.
               Aku melangkahkan kakiku menuju air yang menyapu-nyapu di bibir pantai. Sesekali air membawa kepiting-kepiting kecil yang kemudian berlomba-lomba untuk kembali ke laut. Aku berjalan lebih jauh, biar setengah lututku terendam oleh air laut.  Sesekali aku harus menahan ombak yang semakin lama semakin tinggi. Aku tidak peduli.
                Aku duduk. Air mengenggelamkan seluruh kakiku dan ombak yang lewat membasahi separuh badanku. Aku tetap melepaskan pandangan ke ujung horizon. Matahari membentuk setengah lingkaran yang sempurna. Dan warna jingganya yang menyala menentramkan hatiku. Aku tersenyum.
                Kututup mataku. Kurasa sekitarku. Ombak datang membawa air pasang dan surut bergantian sesekali. Air yang lewat di sela-sela kakiku terasa begitu dingin, begitu menyegarkan. Angin laut mulai resah karena sebentar lagi ia akan tergantikan oleh angin dari darat. Ia meronta dan bertiup semakin kuat. Tak kudengar suara apa-apa selain ombak dan angin.
                Lalu kurasakan tangannya menggapaiku dari belakang, kemudian ia memelukku erat dan mengecup pipiku. Ia membisikkan kata-kata indah di telingaku. Ia menopang tubuhku untuk berdiri. Tetap, aku dalam pelukannya. Lalu ia memutar badanku menghadapnya.
                “Tetap pejamkan matamu,” katanya.
                Ia membelai pipiku. Dapat kurasa ia tersenyum, dan akupun tersenyum. Lalu ia membelai rambutku dan membawa tangannya menelusuri bahuku, lenganku, dan jari-jari tanganku. Ia kemudian menyelipkan jari-jarinya diantara jari-jariku dan menggenggam erat tanganku. Kurasakan wajahya yang perlahan mendekati wajahku. Dan hatiku berkata benar, ia menciumku.
                Kaget, kubuka mataku.
                Ia tak di sana.
                Tidak ada tangannya yang kugenggam erat, hanya sebuah botol kaca bertutupkan gabus yang berisi segulung kertas.
                Kujatuhkan diriku di atas pasir dan kutatap hitam di atasku. Kulihat ribuan bintang dan sebuah bulan yang tersenyum padaku. Aku tersenyum balik kepadanya, senyuman yang mengejek.
  
Aku belum menyerah.
~Ni@ 09/11

No comments:

Post a Comment