Pergi live in merupakan dilema
buat gue. Ga tau kenapa, tapi
semangat gue untuk pergi jauh-jauh
dari rumah hilang tepat sehari sebelum hari H.
Persiapan live in pun ga cuma sehari, dan
persiapannya itu pun bukan cuma packing
baju dan segala peralatan mandi. Persiapan live
in sebenernya sudah dimulai dari akhir-akhir kelas XI, dimana kami harus
membayar cicilan buat live in
sebanyak Rp 750.000,00 per bulan. Kalo gue
jadi ortu murid, gue akan stres dengan cicilan ini. Kenapa? Karena cicilan ini
diadain SETELAH wisata budaya Bali (yang juga pakai acara nyicil sampai hampir setengah tahun) dan cicilan ini dibarengin
dengan cicilan retret. Belum lagi tiap bulan kudu bayar uang sekolah (yang mahal!) dan uang muatan lokal +
keterampilan. First of all, bayaran
buat Wisata Budaya Bali pastinya enggak
murah. Gue jual iPod sama dua hape gue yang lama (si 6600 dan si N81 yang udah enggak
berbentuk) baru bisa melunasi biaya karyawisata itu. Kedua, setelah lega enggak ada cicilan tambahan per bulan,
tiba-tiba nongol dua kegiatan baru
yang juga kudu bayar uang cicilan.
Jadi, kalau ditotal-total, bonyok gue mengeluarkan uang yang sangat banyak
per bulan demi sekolah gue dan
kegiatan-kegiatannya… baik, ya, mereka. J
Selain membayar
cicilan, sedari sebulan sebelum pergi live
in, kami dikumpulkan tiap hari senin, dua jam pelajaran terakhir, untuk
kumpul bersama teman-teman satu rumah dan satu desa. Kami dibagi dalam empat
kelompok desa. Ada Candirejo, Gebang, Tobong, dan Jurangjero. Desa-desa ini terletak
di Wonosari. Semua cewe-cewe
ditempatkan di Desa Candirejo, Gebang, dan Tobong. Sedangkan para lelaki
ditempatkan di Jurangjero. Mengapa demikian? Karena Jurangjero artinya jurang
dalam (kalau tidak salah) dan seperti namanya, relief daratannya berupa
jurang-jurang (yang dalam). Kalau cewe-cewe ditempatkan di sana, ditakutkan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena kebanyakan refleks cewe kurang baik (akibat kurangnya
berolahraga).
Di hari pertama berkumpul,
kami dibagi dan diperkenalkan dengan teman satu rumah. Iya, satu rumah diisi
oleh dua murid. Diharapkan kedua murid ini bisa saling melengkapi untuk
mendalami makna dari live in.
biasanya, kalau ada acara beginian, temen-temen yang deket SELALU dipisah.
Kemungkinan mereka bisa serumah adalah sangat kecil. Dan gue mulai ga yakin. Kalo gue
dapet sama orang yang ga cocok sama gue
sih enggak niat deh gue pergi. Eh, waktu disebutin nama gue, “SONIA” lalu dilanjutkan dengan
nama housemate gue, “JANET”. Satu hall langsung heboh. Gue pas denger ini pengen ketawa
terbahak-bahak, tapi gue tahan. Janet
adalah adek angkat gue, tiap
istirahat selalu makan bareng, suka
jalan bareng, suka cerita-cerita, pokoke deket, deh! Lalu gue bingung…
Setelah
diperkenalkan dengan teman serumah, kami diminta berkenalan sendiri dengan
teman kami itu dan mengenali kelebihan dan kelemahan dari si teman. Diberi
waktu kurang lebih 15 menit (kalau enggak
salah). Gue dan Janet bingung mau kenalan
seperti apa lagi. Tiap hari bareng,
suka jalan bareng, suka curhat. Apa lagi yang kudu diceritain??!!
Oiya, selain diperkenalkan
degan teman satu rumah, diberi tahu juga kami ada di desa mana dan di grup
mana, beserta siapa pembimbingnya. Gue
terdampar di Candirejo grup A bersama Ibu Marcel dan Ibu Winarni. Di pertemuan
selanjutnya, Ibu Winarni digantikan oleh Ibu Lely, plus ada Ibu Hetty juga yang menemani.
Selama
persiapan-persiapan live in ini, yang
kami lakukan adalah ngobrol-ngobrol tentang
harapan, apa yang bakal dilakukan, kelemahan, kelebihan, dan macam-macam. Lalu,
kami punya lagu kebangsaan yang berjudul One Moment In Time. Lagunya yang
♪give me one moment
in time♪
Kenapa
lagu itu? Karena lagu ini menggambarkan semua tentang live in. Intinya sih, kita itu pasti bisa memberikan yang terbaik
waktu hidup di desa nanti.
A week before live in.
makin pengen cepet-cepet live in! Gue ingin cepat-cepat live in karena gue ingin cepat-cepat terlepas dari kesibukan gue sebagai anak SMA (yang enggak
tahan luar biasa sibuknya sampai gue
sakit-sakitan). Setidaknya, di sana gue
bisa menjauh dari hiruk pikuknya kota.
Tapi, waktu hari H datang, gue jadi ga yakin mau pergi. I was home alone at the moment. Bokap ama nyokap pergi lagi ke Eropa. Anaknya ditinggal buat pergi ke desa.
Beda bener, ya?
Gue ga yakin pergi bukan gara-gara iri sama bonyok pergi ke Eropa, tapi karena ada satu hal yang belum gue tuntaskan. Satu masalah yang sampai
sekarang pun gue masih enggak mengerti penyelesaiannya bagaimana.
Really, it’s a dilemma.
Anyways, mau enggak mau gue kudu
pergi. Seminggu meninggalkan rumah KOSONG, walau kunci rumah gue titipkan kepada oom, supaya bisa dicek dua hari sekali keadaan ini rumah, sekalian
dibersihkan sama mbak gue. Oiya, gue punya mbak baru, lho. Dan gue merasa seperti kuntilanak di depan dia… kalau gue muncul di dekat dia, dia langsung
kabur. GUBRAK!
Lalu, hari Sabtu, 10 September
2011 datang. Hari itu, semua anak kelas XII dan guru-guru pendamping
diliburkan. tidak perlu datang pagi-pagi ke sekolah. For me, it’s a good news and bad news. Good news, gue bisa
bangun agak lebih siang. Bad news, GUE GA IKUT KELAS MASAK!!
Gue minta dibangunin jam tujuh pagi sama mbak gue yang lama (yang baru terlalu takut sama gue buat ngetok pintu kamar gue,
takut gue ngerasukin dia kali, ya?).
Bangun, gue langsung gosok gigi, cuci
muka, dan masuk dapur (pelampiasan enggak
ikut kelas masak). Gue sebenernya
bingung mau bikin bekal apa. Kami disuru bawa bekal makan malam sendiri karena
kami akan bermalam di dalam bus. And
truth be told, it’s my first bus trip buat pergi ke tempat yang lumayan
jauh. Akhirnya gue bikin chicken with mashed potato, mealnya Garuda Indonesia.
Pergi ke bandara sehari sebelum
pergi live in membuat gue tiba-tiba ngidem mealnya Garuda yang satu ini. Empat
penerbangan gue bersama Garuda bulan
Juni dan Juli lalu mempertemukan gue
dengan makanan ini. Kemarin di bandara gara-gara ada iklannya Garuda City
Connect, gue jadi inget Garuda
Indonesia dan makanannya. Akhirnya sepulang dari bandara, gue pergi ke supermarket buat beli ayam fillet (hahaha).
Gue sama sekali ga tau itu ayam dibumbui apa aja! Akhirnya gue bereksperimen. Dimulai dari mashed potato. Kalo yang satu ini sih gue udah ada bayangan kudu dibumbuin apa
aja. Tinggal kentang direbus, ditumbuk sampe halus, dikasi mentega, susu, dan
garam sedikit. Kemarin mashed potatonya
gue tambahkan bawang Bombay, iseng.
Si ayam, gue ga ngerti pakai apa saja,
gue rebus saja dulu itu ayam, lalu
baru gue goreng sebentar dengan bumbu
kaldu ayamnya sedikit, kecap manis, minyak wijen, ggl, dan maizena, supaya
kuahnya kental. Enak sih, tapi agak keasinan. Malah, mashed potatonya yang kurang asin. Gue bingung, sedari hari itu, gue
masak selalu keasinan. Stres!
Gue masak mulai jam setengah delapan, baru kelar dengan eksperimen agak jam setengah sepuluh. Itupun yang gue bikin pertama kali adalah untuk
makan pagi. Bayangkan, buat membuat makan pagi aja sampai berapa jam, sudah
sangat kelaparan gue! Setelah makan, gue mandi. Setelah mandi, gue mulai masak buat bekal gue. Bumbunya gue kurangin garam, tapi tetap saja asin! Buat minumnya, gue bikin lemon tea. Sengaja yang
asem-asem supaya gue ga beser. 15 jam perjalanan, euy! BSD-Wonosari! Dengernya aja udah stres.
Mending kalo gue di pesawat. Mau ke
toilet tiap satu menit juga jadi, tinggal pergi ke belakang pesawat. Lha, ini.
Busnya kaga ada toilet, berhentinya KATANYA empat sampe lima jam sekali (walo
kenyataannya ternyata dua jam sampe tiga jam). Parno duluan dah gue.
Sebelum meninggalkan rumah, gue masih sempet BBMan sama guru masak gue, Kak Nia. Dia nanyain akhirnya gue bikin bekal apa. Dan dengan bangga gue menjawab kalo gue bikin mealnya Garuda
Indonesia dengan pengetahuan perbumbuan super terbatas. Dia ketawa. Katanya,
mealnya Garuda, tapi kali ini makannya di darat, ya! Gue juga disuruh mampir ke kelas masak kalau sampai di Sanurnya
lebih cepat. Tapi, sayangnya waktu gue
sampai di Sanur, dapur sudah kosong. Mau nangis rasanya. :’(
koq ceritanya gaq lengkap? Di Sanur BSD yah?
ReplyDelete