Monday, 31 October 2011

Rindu

Aku merindukan langit
cerahnya
birunya
awannya

Dan ketika malam
gelapnya
bintangnya
bulannya

Aku merindukan laut
airnya
baunya
asinnya

Dan di pantai
ombaknya
pasirnya
panasnya

Aku merindukan dia
senyumannya
suaranya
tawanya

Dan ketika bersamaku
sentuhannya
dekapannya
keberadaannya

Tuesday, 18 October 2011

Money Money Money (Bukanlah Segalanya!!)


Posting kali ini, gue akan membahas sesuatu yang gue yakin setiap manusia di dunia ga ada yang ga suka sama benda ini. Uang. Yep, lembaran kertas dengan tulisan Rp 2,000 , Rp 10,000 , sampai koin berbagai warna dan ukuran dari nominal 100 sampai 1000.  Tidak lupa ada berbagai macam gambar seperti tokoh-tokoh pahlawan negara kita, juga monumen-monumen terkenal seperti yang ada di uang Rp 50,000 *itudoangyanggueinget*.

Kenapa membahas uang?
Karena kemarin gue mengalami suatu kejadian yang sangat membuat gue sakit hati.

Kemarin, untuk memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS), seperti biasa si Sanur kantin akan tutup dan rantangan guru akan disetop sehari. Kami diminta untuk membawa bekal sendiri dan menyisihkan uang jajan kami untuk kolekte.

Kolekte adalah hal biasa yang rutin dilakukan di Sanur dalam rangka macem-macem. Dari aksi Natal sampe Idul Fitri pasti ada kolekte.

Apa sih kolekte?
Sepengetahuan gue, kolekte adalah sumbangan sukarela dalam bentuk uang dari kami yang nantinya akan disumbangkan ke lembaga-lembaga atau orang-orang yang membutuhkan uang. Dan yang namanya sumbangan, gue rasa (dan yakin!) ini sukarela.

Kolekte HPS juga udah rutin setiap tahun kita lakukan. Buat gue, uang jajan gue sehari itu emang masuk ke dalem kantong kolekte buat HPS, since emang kaga bisa beli apa-apa di kantin.

Kenapa gue marah?
Enggak, gue ga marah karena uang yang harusnya buat gue makan malah dikasih orang. Gue malah ga masalah ngasih uang jajan sehari buat ngasih makan orang lain. Seneng gue.  Gue marah karena entah kenapa, kolekte sekarang ini merupakan sebuah kewajiban dan ada target yang harus dicapai.

Gue ga tau dari mana ide ini muncul. Target buat kolekte. Kalo ga terpenuhi harus diisi sampai tercapai. Di mana keikhlasannya? Uang yang akan disumbangkan ga bakal bikin orang bahagia kalau yang memberi aja ga ikhlas!

Kemarin ini, seorang guru masuk di kelas gue dan berceramah tentang kolekte. Beliau berkata kami harus memberikan yang BANYAK seperti anak kelas X ada yang terkumpul satu juta satu kelas. Sebelumnya, beliau masuk ke kelas S2 dan meminta supaya kelas itu menyumbang lebih, padahal sudah terkumpul Rp 160,000.00 di sana. Buat gue, kolekte segitu udah banyak. Kurang banyak apa lagi?
Lalu beliau "mengejek" bahwa kami dapat membeli Blackberry, iPad, dan gadget-gadget canggih lainnya, tetapi untuk kolekte saja tidak mau memberi yang banyak.

Dan di sinilah gue marah besar. Gue merasa sangat tersinggung dengan kata-kata beliau. Ga tau deh kalau temen-temen juga merasa demikian.

First of all, uang yang gue miliki adalah uang jajan yang diberikan oleh orang tua. Buat gue, itu uang milik orang tua gue dan gue ga boleh seenaknya aja menghambur-hamburkan uang itu lalu meminta lagi saenak udel kalo udah gue habiskan entah buat apa.  Gue belom bisa cari duit sendiri! Kalopun gue jualan gelang, ga ada tuh penghasilan sampe lebih dari Rp 50,000.00 per bulan cuz jarang ada yang mau beli dan gue pun masih sibuk sama kerjaan sekolah.

Walau itu uang dari ortu buat gue, gue ga suka memakai uang yang bukan hasil keringet gue sendiri dengan seenaknya. Kalopun gue dapet uang dari menang lomba ato keberuntungan, ga ada tuh yang namanya langsung gue habiskan dalam sekejap.

Gue ga suka beli barang yang mahal, apalagi ga jelas apa kegunaannya buat gue. Kalopun gue mau beli barang buat koleksi such as CD musik A&B dan artist-artist lainnya, novel, dan benda-benda lainnya yang gue koleksi, gue kudu nabung dulu berminggu-minggu. Baru gue beli. Gue ga suka main minta uang sama nyokap. Hidup terlalu gampang kalo apa-apa tinggal minta! Di mana perjuangannya?

Second of all, segala gadget yang gue miliki ga langsung plek dikasih ke gue tepat saat gue minta. Contohnya kamera gue. Itu kamera adalah hadiah karena gue berhasil masuk IPA. Untuk mendapat kamera itu gue berjuang melalui kelas X yang pelajarannya ga manusiawi. Dan akhirnya dengan tertatih-tatih, gue berhasil masuk ke jurusan IPA. Kameranya pun ga langsung ada di depan mata gue pas gue diterima di IPA, gue kudu nunggu dari Juni sampai Desember buat dapetin itu kamera. Itu pula nilai semester satu gue di kelas XI kudu bagus.

Lalu, iPod. Pacar gue yang satu ini gue BELI SENDIRI dari hasil penjualan iPod gue yang sebelumnya, lalu ditombokin dikit sama nyokap. Lalu beberapa minggu setelahnya gue ga berani minta uang jajan.

Dan terakhir, BB. Gue baru dapet pas ultah gue kemaren, juga dengan perjuangan nilai bagus dan menabung.

So, segala barang yang gue punya, apalagi yang ga murah, gue dapatkan dengan perjuangan dan penghematan yang sepelit-pelitnya.

Third, uang jajan gue terbatas, woi! Kalo buat kolekte semua, mau makan apa saya??!!??!! Mana saya mengidap maag stadium parah!!!

Uang itu gampang banget buat dihamburkan, tapi susah banget dicari! Gue tau dan gue mengerti perjuangannya kayak gimana. Karena itu gue anti banget hidup hedon! apalagi yang gue pake adalah uang hasil keringet bokap. Kalo gue pake seenaknya, gue yakin bokap bakal sedih!

Jadi, waktu sang guru bilang kalau pemberian kolekte kita sedikit, padahal untuk ukuran "anak yang belom bisa cari uang sendiri" itu nominalnya udah lumayan, gue sangat tidak setuju! Karena uang yang kita miliki terbatas! Itu uang orang tua, bukan kita.

Ga apa, deh, kalau emang nyisihin SEBAGIAN untuk kolekte, tapi jangan jadi SEMUA, dong. Kalau kita laper, mau makan, bayarnya pake apa?

Emang, sih, bisa minta lagi sama ortu. Tapi, GUE GA SUKA! Karena gue sudah mendapatkan apa yang menjadi hak gue dan dari situ gue harus bisa memanage pengeluaran gue. Masa tiap sebentar uang habis buat kolekte? Ending-endingnya malah hanya mengurusi orang lain, tapi diri sendiri ga keurus, dong!

Pernah ada yang bilang ke gue, "Son, lo kan kaya. Kalo liburan selalu pergi ke luar."
Lalu gue meralat, "Gue mah miskin! Kaya dari mana, sebulan belom tentu bisa dapet seribu dengan perjuangan sendiri. Yang kaya mah bokap gue!"

So, buat kalian, anak-anak yang belom bisa cari uang sendiri, dan mengaku-ngaku kaya, coba pikirin lagi, deh.

Juga buat yang demen hidup hedon, merasa uang berseri, juga dipikirin lagi. Nabung, gitu. Ga selamanya lo berada di atas. Nanti kalo kita udah hidup sendiri, ga ada ortu yang akan memberikan uang sebanyak apapun yang kita mau, gimana?

Untuk kolekte-kolekte selanjutnya, mending ga usah dikasih target dan dibanding-bandingin, deh. Ga etis rasanya. Kolekte kan berdasar dari ketulusan hati. Lagipula, kan ga semua orang punya banyak uang yang bisa direlakan begitu saja, padahal buat ngurus kehidupan sendiri aja belom tentu cukup. Ga lucu dong kalo pada akhirnya ketulusan menjadi sebuah hal yang wajib dan malah secara ga langsung "merusak" diri sendiri.

Peduli boleh. Menyumbang untuk kepedulian, lebih boleh lagi. Tapi jangan nilai kepedulian itu dari nominalnya, tapi dari ketulusan hati.

Bener, lho. Kalo nominal gede tapi ga tulus itu malah jelek! Mending sedikit dan benar-benar dari hati, deh. Baru terasa gitu maknanya. Tapi, sedikitnya juga jangan yang ga manusiawi! Sedikit uang jajan kita boleh deh disisihkan untuk kolekte. Berikanlah seikhlasnya! Jangan ada unsur terpaksa. Tapi, gue rasa anak Sanur mah kalo kolekte pasti ikhlas dan mau menyisihkan uang jajannya demi orang lain yang membutuhkan di luar sana. Kita kan sudah diajarkan nilai kepekaan di sekolah! Masalahnya ya itu cuma satu! Mohonnnnnn jangan diberi target dan dibandingkan, apalagi sampai nominal satu juta. Kalaupun tiap orang di kelas memberikan sepuluh ribu dan jumlah siswanya hanya 31 orang, mana sampai satu juta?

Well, sekian saja ungkapan kekecewaan saya. Mohon maaf kalau ada yang tersinggung. Saya orangnya ga pinter untuk menyampaikan ini secara verbal, maka saya tulis saja di sini. Sekalian supaya ga nimbun penyakit. Soalnya, kalau saya langsung bicara, pasti saya bakal emosi. Dan kalau saya sudah emosian dan marah, saya akan menjadi 100% setan dan sangat destruktif. Seriusan! Jangan pernah mencobai kesabaran saya! Lagipula marah-marah itu kan tidak sehat!

Tambahan:
Hari ini gue pergi ke gereja dan seperti biasa, sepulang gereja mendapatkan warta gereja yang isinya artikel, berita, dan lain-lain seputar gereja, event gereja, dan sebangsanya. Di bagian paling belakang, selalu ada komik tentang Kobus. Kebetulan, tema hari ini adalah tentang menyumbang dan judulnya "Receh".
Ceritanya, Kobus baru selesai belanja. Lalu, ia melihat kotak sumbangan dan berniat untuk menyumbang "receh" yang ia miliki, yaitu, sekeping koin Rp 1,000.00 yang adalah sisa kembalian dari belanjaannya. Lalu, Samson, temannya, dari jauh meneriaki dari jauh untuk mengingatkan Kobus kalau Kobus akan memasukkan receh Rp 1,000.00 ke kotak sumbangan dan itu adalah nominal yang kurang berarti.
Kobus juga tahu kalau Rp 1,000.00 bisa dapat apa sekarang ini. Tetapi, ia tetap akan menyumbangkannya karena sekecil apapun yang ia sumbangkan, pasti bisa berguna buat orang yang menerima. Lalu, Samson mengerti bahwa nominal tidak boleh menjadi masalah dalam menyumbang. Yang penting ketulusan hati. Dan, seberapapun sumbangan yang diberikan PASTI AKAN BERGUNA bagi orang yang menerimanya.

so, NOMINAL DOES NOT MATTER!

Thursday, 13 October 2011

Live-in (part 1): Persiapan dan Konflik Batin


Pergi live in merupakan dilema buat gue. Ga tau kenapa, tapi semangat gue untuk pergi jauh-jauh dari rumah hilang tepat sehari sebelum hari H.
                Persiapan live in pun ga cuma sehari, dan persiapannya itu pun bukan cuma packing baju dan segala peralatan mandi. Persiapan live in sebenernya sudah dimulai dari akhir-akhir kelas XI, dimana kami harus membayar cicilan buat live in sebanyak Rp 750.000,00 per bulan. Kalo gue jadi ortu murid, gue akan stres dengan cicilan ini. Kenapa? Karena cicilan ini diadain SETELAH wisata budaya Bali (yang juga pakai acara nyicil sampai hampir setengah tahun) dan cicilan ini dibarengin dengan cicilan retret. Belum lagi tiap bulan kudu bayar uang sekolah (yang mahal!) dan uang muatan lokal + keterampilan. First of all, bayaran buat Wisata Budaya Bali pastinya enggak murah. Gue jual iPod sama dua hape gue yang lama (si 6600 dan si N81 yang udah enggak berbentuk) baru bisa melunasi biaya karyawisata itu. Kedua, setelah lega enggak ada cicilan tambahan per bulan, tiba-tiba nongol dua kegiatan baru yang juga kudu bayar uang cicilan. Jadi, kalau ditotal-total, bonyok gue mengeluarkan uang yang sangat banyak per bulan demi sekolah gue dan kegiatan-kegiatannya… baik, ya, mereka. J
                Selain membayar cicilan, sedari sebulan sebelum pergi live in, kami dikumpulkan tiap hari senin, dua jam pelajaran terakhir, untuk kumpul bersama teman-teman satu rumah dan satu desa. Kami dibagi dalam empat kelompok desa. Ada Candirejo, Gebang, Tobong, dan Jurangjero. Desa-desa ini terletak di Wonosari. Semua cewe-cewe ditempatkan di Desa Candirejo, Gebang, dan Tobong. Sedangkan para lelaki ditempatkan di Jurangjero. Mengapa demikian? Karena Jurangjero artinya jurang dalam (kalau tidak salah) dan seperti namanya, relief daratannya berupa jurang-jurang (yang dalam). Kalau cewe-cewe ditempatkan di sana, ditakutkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena kebanyakan refleks cewe kurang baik (akibat kurangnya berolahraga).
                Di hari pertama berkumpul, kami dibagi dan diperkenalkan dengan teman satu rumah. Iya, satu rumah diisi oleh dua murid. Diharapkan kedua murid ini bisa saling melengkapi untuk mendalami makna dari live in. biasanya, kalau ada acara beginian, temen-temen yang deket SELALU dipisah. Kemungkinan mereka bisa serumah adalah sangat kecil. Dan gue mulai ga yakin. Kalo gue dapet sama orang yang ga cocok sama gue sih enggak niat deh gue pergi. Eh, waktu disebutin nama gue, “SONIA” lalu dilanjutkan dengan nama housemate gue, “JANET”. Satu hall langsung heboh. Gue pas denger ini pengen ketawa terbahak-bahak, tapi gue tahan. Janet adalah adek angkat gue, tiap istirahat selalu makan bareng, suka jalan bareng, suka cerita-cerita, pokoke deket, deh! Lalu gue bingung…
                Setelah diperkenalkan dengan teman serumah, kami diminta berkenalan sendiri dengan teman kami itu dan mengenali kelebihan dan kelemahan dari si teman. Diberi waktu kurang lebih 15 menit (kalau enggak salah). Gue dan Janet bingung mau kenalan seperti apa lagi. Tiap hari bareng, suka jalan bareng, suka curhat. Apa lagi yang kudu diceritain??!!
                Oiya, selain diperkenalkan degan teman satu rumah, diberi tahu juga kami ada di desa mana dan di grup mana, beserta siapa pembimbingnya. Gue terdampar di Candirejo grup A bersama Ibu Marcel dan Ibu Winarni. Di pertemuan selanjutnya, Ibu Winarni digantikan oleh Ibu Lely, plus ada Ibu Hetty juga yang menemani.
                Selama persiapan-persiapan live in ini, yang kami lakukan adalah ngobrol-ngobrol tentang harapan, apa yang bakal dilakukan, kelemahan, kelebihan, dan macam-macam. Lalu, kami punya lagu kebangsaan yang berjudul One Moment In Time.  Lagunya yang  give me one moment in time
Kenapa lagu itu? Karena lagu ini menggambarkan semua tentang live in. Intinya sih, kita itu pasti bisa memberikan yang terbaik waktu hidup di desa nanti.
                A week before live in. makin pengen cepet-cepet live in! Gue ingin cepat-cepat live in karena gue ingin cepat-cepat terlepas dari kesibukan gue sebagai anak SMA (yang enggak tahan luar biasa sibuknya sampai gue sakit-sakitan). Setidaknya, di sana gue bisa menjauh dari hiruk pikuknya kota.
                Tapi, waktu hari H datang, gue jadi ga yakin mau pergi. I was home alone at the moment. Bokap ama nyokap pergi lagi ke Eropa. Anaknya ditinggal buat pergi ke desa. Beda bener, ya?
                Gue ga yakin pergi bukan gara-gara iri sama bonyok pergi ke Eropa, tapi karena ada satu hal yang belum gue tuntaskan. Satu masalah yang sampai sekarang pun gue masih enggak mengerti penyelesaiannya bagaimana. Really, it’s a dilemma.
                Anyways, mau enggak mau gue kudu pergi. Seminggu meninggalkan rumah KOSONG, walau kunci rumah gue titipkan kepada oom, supaya bisa dicek dua hari sekali keadaan ini rumah, sekalian dibersihkan sama mbak gue. Oiya, gue punya mbak baru, lho. Dan gue merasa seperti kuntilanak di depan dia… kalau gue muncul di dekat dia, dia langsung kabur. GUBRAK!
                Lalu, hari Sabtu, 10 September 2011 datang. Hari itu, semua anak kelas XII dan guru-guru pendamping diliburkan. tidak perlu datang pagi-pagi ke sekolah. For me, it’s a good news and bad news. Good news, gue bisa bangun agak lebih siang. Bad news, GUE GA IKUT KELAS MASAK!!
                Gue minta dibangunin jam tujuh pagi sama mbak gue yang lama (yang baru terlalu takut sama gue buat ngetok pintu kamar gue, takut gue ngerasukin dia kali, ya?). Bangun, gue langsung gosok gigi, cuci muka, dan masuk dapur (pelampiasan enggak ikut kelas masak). Gue sebenernya bingung mau bikin bekal apa. Kami disuru bawa bekal makan malam sendiri karena kami akan bermalam di dalam bus. And truth be told, it’s my first bus trip buat pergi ke tempat yang lumayan jauh. Akhirnya gue bikin chicken with mashed potato, mealnya Garuda Indonesia.
                Pergi ke bandara sehari sebelum pergi live in membuat gue tiba-tiba ngidem mealnya Garuda yang satu ini. Empat penerbangan gue bersama Garuda bulan Juni dan Juli lalu mempertemukan gue dengan makanan ini. Kemarin di bandara gara-gara ada iklannya Garuda City Connect, gue jadi inget Garuda Indonesia dan makanannya. Akhirnya sepulang dari bandara, gue pergi ke supermarket buat beli ayam fillet (hahaha).
                Gue sama sekali ga tau itu ayam dibumbui apa aja! Akhirnya gue bereksperimen. Dimulai dari mashed potato. Kalo yang satu ini sih gue udah ada bayangan kudu dibumbuin apa aja. Tinggal kentang direbus, ditumbuk sampe halus, dikasi mentega, susu, dan garam sedikit. Kemarin mashed potatonya gue tambahkan bawang Bombay, iseng. Si ayam, gue ga ngerti pakai apa saja, gue rebus saja dulu itu ayam, lalu baru gue goreng sebentar dengan bumbu kaldu ayamnya sedikit, kecap manis, minyak wijen, ggl, dan maizena, supaya kuahnya kental. Enak sih, tapi agak keasinan. Malah, mashed potatonya yang kurang asin. Gue bingung, sedari hari itu, gue masak selalu keasinan. Stres!
                Gue masak mulai jam setengah delapan, baru kelar dengan eksperimen agak jam setengah sepuluh. Itupun yang gue bikin pertama kali adalah untuk makan pagi. Bayangkan, buat membuat makan pagi aja sampai berapa jam, sudah sangat kelaparan gue! Setelah makan, gue mandi. Setelah mandi, gue mulai masak buat bekal gue. Bumbunya gue kurangin garam, tapi tetap saja asin! Buat minumnya, gue bikin lemon tea. Sengaja yang asem-asem supaya gue ga beser. 15 jam perjalanan, euy! BSD-Wonosari! Dengernya aja udah stres. Mending kalo gue di pesawat. Mau ke toilet tiap satu menit juga jadi, tinggal pergi ke belakang pesawat. Lha, ini. Busnya kaga ada toilet, berhentinya KATANYA empat sampe lima jam sekali (walo kenyataannya ternyata dua jam sampe tiga jam). Parno duluan dah gue.
                Sebelum meninggalkan rumah, gue masih sempet BBMan sama guru masak gue, Kak Nia. Dia nanyain akhirnya gue bikin bekal apa. Dan dengan bangga gue menjawab kalo gue bikin mealnya Garuda Indonesia dengan pengetahuan perbumbuan super terbatas. Dia ketawa. Katanya, mealnya Garuda, tapi kali ini makannya di darat, ya! Gue juga disuruh mampir ke kelas masak kalau sampai di Sanurnya lebih cepat. Tapi, sayangnya waktu gue sampai di Sanur, dapur sudah kosong. Mau nangis rasanya. :’(