Tuesday, 18 October 2011

Money Money Money (Bukanlah Segalanya!!)


Posting kali ini, gue akan membahas sesuatu yang gue yakin setiap manusia di dunia ga ada yang ga suka sama benda ini. Uang. Yep, lembaran kertas dengan tulisan Rp 2,000 , Rp 10,000 , sampai koin berbagai warna dan ukuran dari nominal 100 sampai 1000.  Tidak lupa ada berbagai macam gambar seperti tokoh-tokoh pahlawan negara kita, juga monumen-monumen terkenal seperti yang ada di uang Rp 50,000 *itudoangyanggueinget*.

Kenapa membahas uang?
Karena kemarin gue mengalami suatu kejadian yang sangat membuat gue sakit hati.

Kemarin, untuk memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS), seperti biasa si Sanur kantin akan tutup dan rantangan guru akan disetop sehari. Kami diminta untuk membawa bekal sendiri dan menyisihkan uang jajan kami untuk kolekte.

Kolekte adalah hal biasa yang rutin dilakukan di Sanur dalam rangka macem-macem. Dari aksi Natal sampe Idul Fitri pasti ada kolekte.

Apa sih kolekte?
Sepengetahuan gue, kolekte adalah sumbangan sukarela dalam bentuk uang dari kami yang nantinya akan disumbangkan ke lembaga-lembaga atau orang-orang yang membutuhkan uang. Dan yang namanya sumbangan, gue rasa (dan yakin!) ini sukarela.

Kolekte HPS juga udah rutin setiap tahun kita lakukan. Buat gue, uang jajan gue sehari itu emang masuk ke dalem kantong kolekte buat HPS, since emang kaga bisa beli apa-apa di kantin.

Kenapa gue marah?
Enggak, gue ga marah karena uang yang harusnya buat gue makan malah dikasih orang. Gue malah ga masalah ngasih uang jajan sehari buat ngasih makan orang lain. Seneng gue.  Gue marah karena entah kenapa, kolekte sekarang ini merupakan sebuah kewajiban dan ada target yang harus dicapai.

Gue ga tau dari mana ide ini muncul. Target buat kolekte. Kalo ga terpenuhi harus diisi sampai tercapai. Di mana keikhlasannya? Uang yang akan disumbangkan ga bakal bikin orang bahagia kalau yang memberi aja ga ikhlas!

Kemarin ini, seorang guru masuk di kelas gue dan berceramah tentang kolekte. Beliau berkata kami harus memberikan yang BANYAK seperti anak kelas X ada yang terkumpul satu juta satu kelas. Sebelumnya, beliau masuk ke kelas S2 dan meminta supaya kelas itu menyumbang lebih, padahal sudah terkumpul Rp 160,000.00 di sana. Buat gue, kolekte segitu udah banyak. Kurang banyak apa lagi?
Lalu beliau "mengejek" bahwa kami dapat membeli Blackberry, iPad, dan gadget-gadget canggih lainnya, tetapi untuk kolekte saja tidak mau memberi yang banyak.

Dan di sinilah gue marah besar. Gue merasa sangat tersinggung dengan kata-kata beliau. Ga tau deh kalau temen-temen juga merasa demikian.

First of all, uang yang gue miliki adalah uang jajan yang diberikan oleh orang tua. Buat gue, itu uang milik orang tua gue dan gue ga boleh seenaknya aja menghambur-hamburkan uang itu lalu meminta lagi saenak udel kalo udah gue habiskan entah buat apa.  Gue belom bisa cari duit sendiri! Kalopun gue jualan gelang, ga ada tuh penghasilan sampe lebih dari Rp 50,000.00 per bulan cuz jarang ada yang mau beli dan gue pun masih sibuk sama kerjaan sekolah.

Walau itu uang dari ortu buat gue, gue ga suka memakai uang yang bukan hasil keringet gue sendiri dengan seenaknya. Kalopun gue dapet uang dari menang lomba ato keberuntungan, ga ada tuh yang namanya langsung gue habiskan dalam sekejap.

Gue ga suka beli barang yang mahal, apalagi ga jelas apa kegunaannya buat gue. Kalopun gue mau beli barang buat koleksi such as CD musik A&B dan artist-artist lainnya, novel, dan benda-benda lainnya yang gue koleksi, gue kudu nabung dulu berminggu-minggu. Baru gue beli. Gue ga suka main minta uang sama nyokap. Hidup terlalu gampang kalo apa-apa tinggal minta! Di mana perjuangannya?

Second of all, segala gadget yang gue miliki ga langsung plek dikasih ke gue tepat saat gue minta. Contohnya kamera gue. Itu kamera adalah hadiah karena gue berhasil masuk IPA. Untuk mendapat kamera itu gue berjuang melalui kelas X yang pelajarannya ga manusiawi. Dan akhirnya dengan tertatih-tatih, gue berhasil masuk ke jurusan IPA. Kameranya pun ga langsung ada di depan mata gue pas gue diterima di IPA, gue kudu nunggu dari Juni sampai Desember buat dapetin itu kamera. Itu pula nilai semester satu gue di kelas XI kudu bagus.

Lalu, iPod. Pacar gue yang satu ini gue BELI SENDIRI dari hasil penjualan iPod gue yang sebelumnya, lalu ditombokin dikit sama nyokap. Lalu beberapa minggu setelahnya gue ga berani minta uang jajan.

Dan terakhir, BB. Gue baru dapet pas ultah gue kemaren, juga dengan perjuangan nilai bagus dan menabung.

So, segala barang yang gue punya, apalagi yang ga murah, gue dapatkan dengan perjuangan dan penghematan yang sepelit-pelitnya.

Third, uang jajan gue terbatas, woi! Kalo buat kolekte semua, mau makan apa saya??!!??!! Mana saya mengidap maag stadium parah!!!

Uang itu gampang banget buat dihamburkan, tapi susah banget dicari! Gue tau dan gue mengerti perjuangannya kayak gimana. Karena itu gue anti banget hidup hedon! apalagi yang gue pake adalah uang hasil keringet bokap. Kalo gue pake seenaknya, gue yakin bokap bakal sedih!

Jadi, waktu sang guru bilang kalau pemberian kolekte kita sedikit, padahal untuk ukuran "anak yang belom bisa cari uang sendiri" itu nominalnya udah lumayan, gue sangat tidak setuju! Karena uang yang kita miliki terbatas! Itu uang orang tua, bukan kita.

Ga apa, deh, kalau emang nyisihin SEBAGIAN untuk kolekte, tapi jangan jadi SEMUA, dong. Kalau kita laper, mau makan, bayarnya pake apa?

Emang, sih, bisa minta lagi sama ortu. Tapi, GUE GA SUKA! Karena gue sudah mendapatkan apa yang menjadi hak gue dan dari situ gue harus bisa memanage pengeluaran gue. Masa tiap sebentar uang habis buat kolekte? Ending-endingnya malah hanya mengurusi orang lain, tapi diri sendiri ga keurus, dong!

Pernah ada yang bilang ke gue, "Son, lo kan kaya. Kalo liburan selalu pergi ke luar."
Lalu gue meralat, "Gue mah miskin! Kaya dari mana, sebulan belom tentu bisa dapet seribu dengan perjuangan sendiri. Yang kaya mah bokap gue!"

So, buat kalian, anak-anak yang belom bisa cari uang sendiri, dan mengaku-ngaku kaya, coba pikirin lagi, deh.

Juga buat yang demen hidup hedon, merasa uang berseri, juga dipikirin lagi. Nabung, gitu. Ga selamanya lo berada di atas. Nanti kalo kita udah hidup sendiri, ga ada ortu yang akan memberikan uang sebanyak apapun yang kita mau, gimana?

Untuk kolekte-kolekte selanjutnya, mending ga usah dikasih target dan dibanding-bandingin, deh. Ga etis rasanya. Kolekte kan berdasar dari ketulusan hati. Lagipula, kan ga semua orang punya banyak uang yang bisa direlakan begitu saja, padahal buat ngurus kehidupan sendiri aja belom tentu cukup. Ga lucu dong kalo pada akhirnya ketulusan menjadi sebuah hal yang wajib dan malah secara ga langsung "merusak" diri sendiri.

Peduli boleh. Menyumbang untuk kepedulian, lebih boleh lagi. Tapi jangan nilai kepedulian itu dari nominalnya, tapi dari ketulusan hati.

Bener, lho. Kalo nominal gede tapi ga tulus itu malah jelek! Mending sedikit dan benar-benar dari hati, deh. Baru terasa gitu maknanya. Tapi, sedikitnya juga jangan yang ga manusiawi! Sedikit uang jajan kita boleh deh disisihkan untuk kolekte. Berikanlah seikhlasnya! Jangan ada unsur terpaksa. Tapi, gue rasa anak Sanur mah kalo kolekte pasti ikhlas dan mau menyisihkan uang jajannya demi orang lain yang membutuhkan di luar sana. Kita kan sudah diajarkan nilai kepekaan di sekolah! Masalahnya ya itu cuma satu! Mohonnnnnn jangan diberi target dan dibandingkan, apalagi sampai nominal satu juta. Kalaupun tiap orang di kelas memberikan sepuluh ribu dan jumlah siswanya hanya 31 orang, mana sampai satu juta?

Well, sekian saja ungkapan kekecewaan saya. Mohon maaf kalau ada yang tersinggung. Saya orangnya ga pinter untuk menyampaikan ini secara verbal, maka saya tulis saja di sini. Sekalian supaya ga nimbun penyakit. Soalnya, kalau saya langsung bicara, pasti saya bakal emosi. Dan kalau saya sudah emosian dan marah, saya akan menjadi 100% setan dan sangat destruktif. Seriusan! Jangan pernah mencobai kesabaran saya! Lagipula marah-marah itu kan tidak sehat!

Tambahan:
Hari ini gue pergi ke gereja dan seperti biasa, sepulang gereja mendapatkan warta gereja yang isinya artikel, berita, dan lain-lain seputar gereja, event gereja, dan sebangsanya. Di bagian paling belakang, selalu ada komik tentang Kobus. Kebetulan, tema hari ini adalah tentang menyumbang dan judulnya "Receh".
Ceritanya, Kobus baru selesai belanja. Lalu, ia melihat kotak sumbangan dan berniat untuk menyumbang "receh" yang ia miliki, yaitu, sekeping koin Rp 1,000.00 yang adalah sisa kembalian dari belanjaannya. Lalu, Samson, temannya, dari jauh meneriaki dari jauh untuk mengingatkan Kobus kalau Kobus akan memasukkan receh Rp 1,000.00 ke kotak sumbangan dan itu adalah nominal yang kurang berarti.
Kobus juga tahu kalau Rp 1,000.00 bisa dapat apa sekarang ini. Tetapi, ia tetap akan menyumbangkannya karena sekecil apapun yang ia sumbangkan, pasti bisa berguna buat orang yang menerima. Lalu, Samson mengerti bahwa nominal tidak boleh menjadi masalah dalam menyumbang. Yang penting ketulusan hati. Dan, seberapapun sumbangan yang diberikan PASTI AKAN BERGUNA bagi orang yang menerimanya.

so, NOMINAL DOES NOT MATTER!

No comments:

Post a Comment