Monday, 21 November 2011

Micro Blogging!

Hai para pembaca setia blog saya...!!
kenapa tiba-tiba ada banyak jangkrik berbunyi, ya?

eniweis!
pengumuman!
mulai hari INI akudiatasawan punya TWITTER!
follow, yaa!! @akudiatasawan
kenapa tiba-tiba akudiatasawan buka TWITTER?? Apakah blogspotnya akan ditutup?? Apakah Nia sudah menjadi waras?? tunggu... gue emang waras!! ==*
gue buka twitter karena seperti yang kalian ketahui, gue sudah SANGAT JARANG ngupdate ini blog. kalo sempet update, postingnya ketunda sampe berapa minggu baru bisa di post karena di tengah-tengah nulis gue harus melakukan ini itu. Beginilah hidup di Sanur BSD...
So, gue memutuskan untuk microblogging saja disela kesibukan gue (yang amat sangat). Kadang gue setres sendiri gara-gara ga bisa menyampaikan isi hati gue ke dalam bentuk tulisan. Kenapa? karena di facebook rada ga aman, gue punya banyak fans yang suka stalking gue *dilempargelas*, juga banyak yang protes kalau gue ngebuat timeline mereka kotor. Twitter asli saya? bukan untuk umum.. :) dan jarang diapdet juga... ==a
JADI, buat lo lo lo pada yang penasaran sama hidup gue dan ga bisa stalking gue via facebook atau twitter gue, gue berbaik hati nih ngebuat TWITTER BUAT BLOG GUE supaya lo lo lo pada yang kesel kenapa Nia ga pernah apdet bisa kembali stalking Nia dengan leluasanya!

sekian pengumuman dari Nia, terima kasih atas perhatian saudara saudari semua. Nia mau kembali belajar mateMATIka dulu...

Wednesday, 2 November 2011

Di Kehidupan Lain (Live In SMA Santa Ursula BSD 2011)


ini adalah versi SINGKAT dari cerita live in saya untuk memenuhi tugas KWN. Versi lebih panjangnya akan dipublish dalam beberapa parts.

                Live in? Apa itu live in? Semua orang begitu heboh ketika membicarakan live in. Jujur, aku sendiri antara senang dan takut menghadapi live in ini. Tinggal di desa bersama orang yang sama sekali tidak dikenal, menjalani hidup super sederhana di desa, dan yang paling menyeramkan, tidak ada internet selama lima hari!
                Berhubung live in adalah kegiatan wajib, jadi mau tidak mau aku harus mengikutinya. Tapi, semua gundahku hilang semakin tanggal 10 September 2011 datang. Kesibukan sekolah dan hiruk pikuk kota membuatku butuh untuk pergi ke tempat yang lebih tenang untuk beberapa hari. Jadi, kusambutlah live in dengan senyuman lebar. Setidaknya, itu yang kurasakan seminggu sebelum pergi live in.
                Perisapan live in ini tidak hanya memakan sehari dua hari saja, melainkan berbulan-bulan. Bahkan, sudah dimulai sejak kelas 11. Selain persiapan biaya, kami juga disiapkan untuk mengetahui apa yang akan kami lakukan di sana bersama teman-teman satu rumah, juga satu desa. Entah ada konspirasi apa (setidaknya itu kata teman-teman yang iri), aku terdampar bersama adik angkatku dalam sebuah rumah entah milik siapa di Desa Candirejo.
                Adik angkatku, Janet, sudah dua tahun kuangkat menjadi adik tanpa alasan apapun. Sama seperti saudara dan saudari angkatku yang lain. Tanpa ada alasan spesifik, tiba-tiba status mereka dari “teman” berubah menjadi “saudara angkat”. Tidak hanya adik angkat, Janet adalah teman yang setiap hari selalu bersamaku. Kami sering meluangkan waktu bersama, mengobrol bersama, jalan-jalan bersama, dan kegiatan lain yang biasa dilakukan oleh teman dekat.
                Dalam acara sekolah semacam ini, biasanya teman-teman yang dekat selalu dipisah. Tetapi, dalam kasusku malah sebaliknya. Karena itu semua orang iri kepadaku.
                Satu hari sebelum live in, gundahku kembali. Antara ingin pergi dan tidak mau pergi. Hari itu, aku mengantar kedua orang tuaku ke bandara. Mereka akan pergi ke luar negeri. Tidak, aku tidak iri. Memang, sih, beda jauh antara luar negeri dan sebuah desa di Wonosari. Tetapi, aku jauh lebih memilih live in dari pada ikut orang tuaku, karena dalam grup tour mereka hanya ada orang-orang tua yang membosankan.
                Aku mulai ragu lagi karena ini pertama kalinya aku pergi ketika orang tuaku juga pergi. Dengan kata lain, rumahku akan 100% kosong (walau ada pembantu juga, sih). Tetapi, pembantuku tidak diijinkan untuk masuk ke dalam rumah ketika tidak ada orang selain mereka di rumah. Kami mengunci semua pintu yang bisa menjadi  akses masuk agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika kami tidak ada di rumah untuk memantau. Jadi, pembantuku hanya dapat berada di kamarnya, tempat cucian, dapur, dan taman.
                Memang, tidak selama lima hari itu rumah akan tertutup. Oomku akan datang untuk memantau dan membukakan pintu agar rumah dapat dibersihkan. Tetap saja, aku tidak rela meninggalkan rumah ini kosong.
                Hari H datang. Sabtu itu, semua peserta live in diliburkan dan baru diminta hadir pukul 13.00 WIB di sekolah. Liburnya supaya kami bisa lebih memperisapkan diri.
                Pagi itu, aku bangun pukul tujuh untuk mulai mempersiapkan bekal makan siang dan makan malam selama di bus. 15 jam perlajanan dari BSD ke Wonosari tidak mungkin kami lewati tanpa makan ataupun minum. Aku memutuskan untuk membuat sebuah makanan yang tiba-tiba muncul di kepalaku semalam sebelumnya, Chicken with Mashed Potato dari Garuda Indonesia. Makanan itu hanya fillet dada ayam yang dibumbui kecap dan dimakan bersama kentang yang dihaluskan, juga sayur-sayuran dingin.
                Memakan waktu agak lama untuk membuatnya karena aku belum pernah membuatnya sebelumnya. Pada akhirnya, dengan perasaan dan pengetahuan seadanya, aku berhasil membuat makanan itu. Kali ini, aku tidak akan memakannya di atas awan, melainkan di daratan.
                Meninggalkan rumah dengan berat hati pukul 12, aku sampai di sekolah pukul 12.30. Pukul 13.00 ada misa live in. Sebelum berangkat, kami berkumpul terlebih dahulu di hall per bus, lalu baru diberangkatkan ke bus masing-masing. Aku berada di bus satu dan entah kebetulan atau disengaja, aku ditempatkan di bus yang berwarna oranye (warna favoritku). Lalu kami berangkat.
                Perjalanan terasa sangat lama. Aku merasa tidak nyaman duduk di dalam bus selama berjam-jam, walau kami berhenti untuk toilet setiap dua sampai tiga jam sekali. Aku tidak bisa tidur di bus karena busnya ugal-ugalan dan aku yang duduk di kursi bagian dalam (bukan di samping jendela) selalu terpental ke arah lorong. Alhasil, setiap lima belas menit sekali, aku terbangun padahal baru saja menginjak alam mimpi.
                Kami tiba di Desa Kelor, Wonosari, pukul enam pagi. Kami diberi minum the hangat dan makan pagi. Selain itu, kami diperbolehkan untuk cuci muka, gosok gigi, dan melakukan panggilian alam. Tetapi, berhubung toilet yang ada hanya sedikit, empat, dan otomatis terbagi menjadi dua toilet perempuan dan dua toilet laki-laki, antriannya sangatlah tidak manusiawi. Untuk mengantri toilet saja bisa memakan waktu empat puluh lima menit.
                 Sekitar pukul Sembilan, kami sudah berbaris kembali per desa untuk kemudian naik truk (semacam truk untuk mengangkut sapi) yang akan mengantar kami ke desa kami masing-masing. Dalam perjalanan, ada satu hal yang membuat perjalanan di atas truk sebagai “sapi-sapi Santa Ursula” menjadi sedikit lebih menarik. Kami melewati sebuah pohon yang sangat tinggi dan besar. Dahan-dahannya membentuk payung di atas jalan raya. Kalau hari sedang panas, di bawah sana pasti teduh sekali. Kalau boleh, aku ingin berhenti di sana dan duduk di bawah sana berjam-jam. Sayangnya tidak boleh.
                Kurang lebih dua puluh menit sampai setengah jam, kami sampai di Candirejo. Kami diturunkan di sebuah gereja kecil dimana sudah banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang menunggu. Merekalah calon ibu dan bapak angkat kami selama lima hari di Candirejo.
                Kedatangan kami diawali dengan pembukaan, perkenalan, dan beberapa kata pengantar lainnya. Kemudian kami diperkenalkan dengan orang tua angkat kami dan langsung dibawa pulang.
                Aku dan Janet diserahkan kepada seorang ibu bernama Ibu Maria Sarisih. Kami pun langsung mengikuti Ibu Sarisih ke luar gereja, menuju ke rumahnya.
                Dalam perjalanan menuju ke rumah Ibu Sarisih, kami berhenti sebentar di pasar untuk mengambil gelas-gelas, termos, dan beberapa teko. Ibu Sarisih adalah seorang penjual wedang (minuman teh). Pertama-tama, si Ibu menolak untuk dibantu. Maklum, baru kenalan. Tetapi, karena kami memaksa, akhirnya kami diperbolehkan untuk membantu, tetapi membawa teko dan termos saja, karena gelas-gelasnya berat.
                Rumah Ibu Sarisih tidak jauh dari pasar. Hanya menyebrang jalan raya, lalu rumahnya ada di bagian belakan sebuah toko sembako. Jalan menuju rumah si Ibu tidaklah sebuah jalanan aspal atau jalanan lainnya yang halus, melainkan berbatu-batu gunung dan harus berhati-hati agar tidak terpeleset.
                Jauh dari gambaran rumah-rumah semen seperti yang kami lewati saat menuju ke Candirejo, rumah Ibu Sarisih merupakan rumah Jawa kuno yang belum memakai batako ataupun beton sebagai dinding. Benar-benar, inilah rumah yang pertama kali tergambarkan di pikiranku ketika mendengar kata live in. Padalah, ketika melewati rumah-rumah di jalan raya, yang sudah pakai semen dan lantainya keramik, aku sudah senang. Kenyataannya berbeda.
                Selain dinding dari triplek, lantai di ruang tamu dan ruang tidur adalah batu-batu gunung yang berbentuk persegi. Sedangkan di dapur, lantainya tanah. Di sebelah dapur, ada kandang kambing. Di luar rumah, ada lapangan yang lumayan luas dan ditumbuhi beberapa pohon jati yang masih kurus. Dan toilet, tidak ada di dalam rumah. Ada di belakang rumah, hanya sebuah lubang kecil di dalam tanah yang ditutupi seng-seng agar kalau buang air kecil (atau besar) tidak dilihat orang secara langsung. Benar-benar rumah yang paling cocok untuk live in.
                Sesampainya di rumah, kami meletakkan tas kami di dalam kamar, lalu duduk di ruang tengah bersama si Ibu. Mulailah kami berkenalan satu sama lain. Si Ibu memulai dengan menceritakan tentang dirinya. Si Ibu tinggal sendiri di rumah itu. Tiga orang anaknya semua sudah berkeluarga, dua di Solo, satu di seberang rumah. Suaminya sudah lama meninggalkannya ketika anak-anaknya masih kecil. Si Ibu tidak mau menikah lagi karena tidak mau anak-anaknya memiliki ayah tiri, takut kalau sering bertengkar. Jadi, si Ibu banting tulang sendirian untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya sampai sekarang, anak-anaknya sudah sukses semua. Di umurnya yang sudah cukup tua, 65 tahun, Ibu Sarisih adalah wanita yang sangat mandiri dan enggan dimanja oleh anak-anaknya. Ia tidak mau diajak tinggal bersama mereka. Ia tetap mau tinggal di rumahnya ini dan mencari nafkah sendiri. Kata si Ibu, selama masih bisa mencari uang sendiri, masih kuat, ia tidak mau membebani anak-anaknya.
                Benar-benar mengharukan. Perjuangan seorang ibu itu memang tiada habisnya demi anak-anaknya. Salut buat Ibu Sarisih.
                Setelah cerita-cerita sambil makan kerupuk, kami membuat makan siang.
                Aku sangat bahagia ketika menginjakkan kaki di dapur. Kompornya pakai kayu bakar! Kapan lagi bisa memasak dengan kompor kayu bakar kalau bukan di pedesaan? Dengan antusias aku memaksa si Ibu agar memperbolehkan aku dan Janet untuk membantu memasak. Sebelumnya si Ibu sangat melarang-larang kami untuk membantunya. Takut kepanasan atau apalah. Padahal aku dan Janet setiap hari kerjanya nongkrong di dapur.
                Kami membuat tempe mendoan siang itu. Urusan masakan tradisional, aku angkat tangan. Disinilah kesempatanku untuk mempelajari cara memasak makanan tradisional. Kadang bosan juga dengan makanan Eropa yang hampir setiap hari kuhidangkan di rumah.
                Usai masak, kami makan, dan kembali cerita-cerita. Menjelang sore, kami pergi ke rumah anaknya yang di seberang. Hanya beberapa meter melewati jalan menanjak yang berbatu.
                Rumah itu adalah milik Pak Dwi, anaknya yang kedua. Tidak seperti rumah ibunya, rumah Pak Dwi sudah berdinding semen dan berlantai keramik. Di dalam rumahnya juga ada kamar mandi dan keran air yang mengalirkan air bersih. Kami dapat mandi dan melakukan segala panggilan alam di sana.
                Saat itu, Pak Dwi dan istri sedang tidak ada di rumah. Anak-anaknya pun tidak ada. Hanya ada besan dari si Ibu. Lalu, kami menumpang mandi di sana (setelah satu hari lebih tidak mandi).
                Malamnya, kami kembali menyiapkan makan, makan malam, mengobrol-ngobrol lagi, dan kami tidur pukul Sembilan. Bukan main ngantuknya waktu itu. Kami tidur di dalam kamar, sedangkan si Ibu di ruang tengah, kasur yang berada tepat di depan tv. Katanya, si Ibu memang selalu tidur di sana, sambil nonton tv. Kamar hanya dipakai kalau ada yang live in. Benar-benar si Ibu sangat baik.
                Tak kusangka-sangka, ternyata aku tidak home sick.  Malam itu aku tidur dengan sangat nyenyak, walau harus berdempet-dempetan dengan adikku. Hanya saja, paginya aku terbangunkan oleh mati lampu dan pengumuman dari masjid kalau ada yang meninggal.
                Paginya, kami dibangunkan oleh si Ibu dan langsung bantu-bantu menyiapkan untuk makan pagi, lalu pergi ke tempat Pak Dwi lagi untuk menumpang mandi.
                Seusai makan pagi, si Ibu pergi melayat. Kami tidak diajak karena katanya si Ibu akan pergi lama. Sembari menunggu, ternyata kami dihampiri oleh Ibu Marcel dan Ibu Lely. Sharing sedikit tentang kesan-kesan satu hari yang kurang lebih masih dalam proses beradaptasi. Tak lama setelah kedua guru kami pergi, si Ibu pulang. Lalu, kami mengobrol-ngobrol lagi. Sambil mengobrol, tiba-tiba dari kejauhan, dari arah rumah Pak Dwi, muncul Stefani dan Valeri bersama ibu angkatnya. Mereka baru dari tempat orang melayat.     
                Mereka kemudian berhenti sebentar untuk berkunjung dan mengobrol-ngobrol. Lalu kami sharing tentang rumah kami masing-masing. Rumah Stefani dan Valeri ternyata beda jauh dari rumah aku dan Janet. Rumah mereka sudah berdinding semen, berlantai keramik, dan semuanya katanya sudah seperti di rumah mereka sendiri.
                Setelah mereka pamit pergi, pekerjaanku yang sebenarnya menyambut. Cuci gelas. Gelas-gelas yang kemarin diambil di pasar tidak langsung dicuci. Berhubung si Ibu jualan wedang hanya hari Legi dan hari Pahing. Mencuci gelas-gelas ini ternyata tidak mudah dan memakan waktu yang cukup lama. Ada lebih dari 50 gelas yang kami cuci. Usai mencuci gelas, kami sudah harus siap-siap untuk berkumpul kembali di gereja untuk sharing bersama.
                Malam harinya, setelah mandi dan makan malam, kami kembali ke rumah Pak Dwi dan menunggu kepulangan Pak Dwi hingga pukul 11 malam. Jujur, aku begitu tak sabar saat menunggu. Kantukku sudah menjadi-jadi dan aku butuh tidur saat itu juga.
                Tidur terlalu malam itu membuat aku dan adikku tidak bisa bangun pagi esok harinya. Ibu pun tidak berani membangunkan kami karena saat malam kami tidur terlalu malam. Akhirnya kami dibangunkan oleh Ibu Marcel yang pagi-pagi sudah mengunjungi kami. Dan kena marahalah kami berdua.
                Setelah kedua guru kami pergi, kami langsung disuruh mandi oleh si Ibu. Usai mandi, kami menyiapkan makan pagi dan makan.Si Janet ternyata tidak enak badan. Akhirnya, aku yang membantu cuci-cuci piring. Selesai cuci piring, aku dan ibu pergi untuk mencari obat.
                Setelah keliling-keliling mencari guru-guru yang membawa obat, usaha kami sia-sia. Mereka tak ada di manapun. Lalu kami mencoba mencari di warung, juga tidak ada. Akhirnya kami mengunjungi rumah Stefani dan Valeri sebentar, lalu kembali pulang.
                Sesampainya di rumah, kami kembali masak. Janet masih beristirahat di kamar. Saat memasak, si Ibu kembali cerita-cerita dan kembali mengungkin soal betapa sayangnya ia kepada anak-anaknya dan betapa anak-anaknya juga sayang kepadanya. Katanya, anak-anaknya mengerti penderitaannya, jadi mereka tidak mau menjahati ibunya. Dan kalimat terakhirnya yang membuatku ingin cepat-cepat pulang. “Anak-anak jaman sekarang, orang tuanya sudah baik kepada mereka, tapi mereka tidak mau baik kepada orangtuanya. Malah suka melawan. Tidak boleh begitu, durhaka!”
                Lalu aku terdiam dan teringat betapa aku seperti itu. Ingin rasanya nangis di tempat, tetapi berhubung saat itu hatiku sedang kacau, tidak bisa dengan baik merasakan apa-apa, jadi aku tidak bisa menangis. Alhasil, aku hanya bisa berkata dalam hati, “Mami, aku kangen! Aku mau pulang!”
                Untungnya, sih, hubunganku dengan mamiku jauh lebih baik dari pada waktu dulu. Kami sudah jarang bertengkar, jarang saling teriak-teriakan, bahkan jarang mengobrol, sebenarnya. Ya, salah satu alasan mengapa kami sering bertengar adalah obrolan kami. Entah mengapa aku dan mamiku tidak pernah sepikiran. Tetap, aku tahu mami sebenarnya sayang. Hanya saja cara menyampaikan rasa sayangnya kadang bikin aku geregetan.
                Percuma juga sebenarnya kalau aku minta pulang saat itu juga. Toh, tidak ada orang di rumah. Mamiku baru pulang sekitar tiga hari setelah kepulanganku. Jadi, aku pergi tidak ada yang mengantar dan aku pulang tidak ada yang menjemput. Seperti setan, ya?
                Usai memasak, kami makan siang, cuci piring, lalu si Ibu pamit pergi entah ke mana dan kami ditinggal saja di rumah.
                Sebenarnya, live in ini tidak terasa live in sama sekali. Orang tuaku sama saja seperti yang di rumah, hobi meninggalkanku sendirian. Juga tidak banyak pekerjaan yang bisa kulakukan. Bedanya, live in ini aku terputus dari dunia maya selama lima hari dan ini membuatku resah. Ingin rasanya live in cepat berakhir karena aku sejujurnya tidak merasakan sesuatu yang berbeda.
                Sorenya, kami kembali pergi ke gereja untuk sharing, dan malam harinya kegiatan kami sama seperti malam sebelumnya. Kami pun kembali ke rumah pukul sebelam malam lagi.
                Esok paginya, kami bangun pukul empat pagi. Hari itu si Ibu akan berjualan di pasar. Karena itu harus pagi-pagi sekali memanaskan air dan menyiapkan semuanya.
                Karena kami bangun terlalu pagi, kami sama sekali tidak cuci muka ataupun gosok gigi pagi itu. Pak Dwi dan keluarga belum ada yang bangun satupun dan kami tidak bisa gosok gigi dan cuci muka karena air tampungan di luar sudah kotor.
                Dari jam empat sampai jam lima, kami menunggui air mendidih. Aku masih belum 100% sadar. Daripada kembali lagi tidur, aku memilih untuk duduk di depan kompor dan menikmati panasnya api yang menyala dari kelima kompor yang ada.
                Pukul enam pagi, kami sudah mulai membawa peralatan ke pasar. Kami mulai mengisi gelas dengan teh dan gula. Tidak lama, kegiatan pasar dimulai dan kami mulai mengelilingi pasar sambil membawa nampan penuh dengan gelas-gelas teh. Satu gelas yang kecil harganya Rp 500,00 dan gelas yang besar seharga Rp 1.000,00.
                Satu nampan terisi dari dua belas gelas dan itu semua berat sekali. Aku sebagai mantan panitia perlengkapan di segala acara di sanur merasa kalau ini lebih berat daripada meja untuk open house. Aku bingung bagaimana si ibu, yang sudah setua itu, bisa mengangkan satu nampan ini sendirian tanpa merasa berat sekalipun. Salut!
                Setelah selesai mengantarkan semua teh ke para pelanggan, kami berisitirahat sebentar. Lalu, si Ibu membelikan kami beberapa jajanan pasar untuk makan pagi.Tidak lupa, kami mencoba nasi tiwul.
                Usai makan, kami kembali keliling membawa teko dan termos berisi penuh air teh untuk kembali mengisi gelas-gelas teh para pelanggan yang sudah mulai kosong. Aku jadi merasa seperti pelayan di Sushi Tei yang memberikan refill Ocha kepada pelanggan.
                Kami pulang paling terakhir dari pasar. Menunggu semua sudah selesai dan mengumpulkan kembali gelas-gelasnya. Selain itu, si Ibu juga mengumpulkan sisa-sisa sayur-sayuran untuk pakan kambing.
                Sepulang dari pasar, kami makan semangka sambil member makan kambing. Dan untuk pertama kali seumur hidup, aku berhasil memegang kambing!
                Lalu aku dan Janet mandi terlebih dahulu sebelum makan siang. Lumayan parah tidak gosok gigi di pagi hari.
                Menjelang sore, saat kami akan pergi ke gereja untuk sharing lagi, si Ibu pergi ke Solo untuk menjenguk orang sakit. Sepulang dari refleksi, si ibu belum juga pulang. Bosan tidak ada kerjaan, akhirnya kami memutuskan untuk mencuci gelas, berhubung besok sudah pulang. Kami berhasil mencuci gelas-gelas itu dalam dua jam. Dan sampai kami selesai pun si Ibu belum pulang.
                Saat Ibu pulang, ia begitu terburu-buru. Ia khawatir dengan kami berdua karena ia pulang sangat terlambat. Kami meyakinkan Ibu kalau kami tidak apa-apa.
                Malam itu ada acara doa lingkungan di rumah salah satu orang tua angkat teman kami. Sebelum pergi, kami makan malam terlebih dahulu, baru pergi. Saat makan, si Ibu terlihat begitu sedih. Mungkin karena kami akan pulang besok. Ah, kasihan si Ibu.
                Lalu, kami pergi ke doa lingkungan. Di perjalanan, kami berpas-pasan dengan para ibu guru dan juga Vicky, Vina, dan orang tua angkatnya. Malam itu, doanya memakai bahasa Indonesia karena ada kami, para anak-anak dari Jakarta yang mengerti Bahasa Jawa baru sedikit-sedikit, bahkan mungkin ada yang belum mengerti sama sekali. Setelah berdoa, kami mengobrol-ngobrol dengan teman-teman yang lain sambil menikmati snek yang disediakan oleh pemilik rumah.
                Setelah pulang dari doa, kami langsung merapikan perlengkapan kami agar esok pagi langsung bisa dibawa.
                Pagi datang begitu cepat. Seperti biasa, kami membantu menyiapkan makan pagi, mandi, dan makan pagi. Saat makan pagi hari itu, si Ibu kemudian menangis, belum rela ditinggal oleh dua anak angkatnya yang cerewet. Lalu kami menangis dan berpeluk-pelukan saat makan pagi. Aku masih belum bisa menangis.
                Seusai makan pagi, kami di rumah, menunggu datangnya jam sepuluh. Sembari menunggu, si Ibu kembali menghilang. Ia kemudian kembali membawa banyak sekali keripik singkong untuk oleh-oleh, juga sekantong tempe mendoan untuk di jalan. Benar-benar si Ibu niat sekali membawakan kami oleh-oleh. Bahkan ia berkata kalau orang tua kami tidak suka dibuang saja, tidak apa-apa. Tidak mungkin oleh-oleh ibu kubuang! Lagipula orang tuaku tidak separah itu. Pasti mereka mau mencoba tempe mendoan itu, sayangnya orang tuaku  pulangnya masih agak lama, jadi tidak mungkin tempe itu bisa bertahan selama itu.
                Pukul sepuluh datang begitu lama. Kami akhirnya meninggalkan rumah. Berpamitan dengan rumah, juga kambing. Si Ibu ikut mengantar kami ke gereja. Sesampainya di sana, kami menunggu semua hadir, lalu kami tutup dengan kata penutup, ucapan terima kasih, dan doa. Setelah itu, kembali acara tangis menangis bersama orang tua angkat sembari menunggu truk yang akan membawa kami kembali ke Kelor datang. Tetap, aku tidak bisa menangis.
                Perjalanan pulang ke Kelor terasa lebih lama dari pada waktu kami datang. Aneh, harusnya saat datang yang terasa lebih lama, bukan saat pulang.
                Di Kelor, kami makan siang, lalu kembali ke bus yang akan membawa kami ke BSD. 15 jam lagi harus kulewati di atas bus.
                Saat sampai di BSD, kepalaku benjol. Aku duduk di kursi jendela kali ini dan saat tidur, kepalaku terbentur-bentur dengan jendela. Alhasil, sakit sekali!
                Setelah pengarahan sebentar, aku pulang ke rumah, makan pagi, mandi, lalu tidur sampai siang.
                Live in ku tidak berhenti sampai di sini saja. Esok harinya, hari Sabtu, aku harus kembali ke sekolah untuk sharing dan refleksi kembali. Lalu, menyiapkan kegiatan yang akan dilakukan untuk menanggapi keprihatinan-keprihatinan yang dapat kita tangkap dari keadaan desa tersebut. Kalau mau dibilang, hingga sekarang kegiatan live in belum berakhir karena sampai sekarang kami masih melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat kami lakukan untuk desa-desa kami.
                Live in memang pengalaman yang tidak dapat didapatkan di sembarang tempat. Aku benar-benar merasakan live in yang sesungguhnya, walau bagian mandi di sungainya tidak ada. Tinggal di desa bersama seorang ibu yang sudah sangat tua, di rumah yang masih sangat kuno tanpa kamar mandi. Memang aku kurang menikmati saat aku di sana. Mungkin kalau ada internet, aku bisa lebih tahan. Mau disuruh tinggal di sana sebulan mungkin kuat.
               
               

Monday, 31 October 2011

Rindu

Aku merindukan langit
cerahnya
birunya
awannya

Dan ketika malam
gelapnya
bintangnya
bulannya

Aku merindukan laut
airnya
baunya
asinnya

Dan di pantai
ombaknya
pasirnya
panasnya

Aku merindukan dia
senyumannya
suaranya
tawanya

Dan ketika bersamaku
sentuhannya
dekapannya
keberadaannya

Tuesday, 18 October 2011

Money Money Money (Bukanlah Segalanya!!)


Posting kali ini, gue akan membahas sesuatu yang gue yakin setiap manusia di dunia ga ada yang ga suka sama benda ini. Uang. Yep, lembaran kertas dengan tulisan Rp 2,000 , Rp 10,000 , sampai koin berbagai warna dan ukuran dari nominal 100 sampai 1000.  Tidak lupa ada berbagai macam gambar seperti tokoh-tokoh pahlawan negara kita, juga monumen-monumen terkenal seperti yang ada di uang Rp 50,000 *itudoangyanggueinget*.

Kenapa membahas uang?
Karena kemarin gue mengalami suatu kejadian yang sangat membuat gue sakit hati.

Kemarin, untuk memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS), seperti biasa si Sanur kantin akan tutup dan rantangan guru akan disetop sehari. Kami diminta untuk membawa bekal sendiri dan menyisihkan uang jajan kami untuk kolekte.

Kolekte adalah hal biasa yang rutin dilakukan di Sanur dalam rangka macem-macem. Dari aksi Natal sampe Idul Fitri pasti ada kolekte.

Apa sih kolekte?
Sepengetahuan gue, kolekte adalah sumbangan sukarela dalam bentuk uang dari kami yang nantinya akan disumbangkan ke lembaga-lembaga atau orang-orang yang membutuhkan uang. Dan yang namanya sumbangan, gue rasa (dan yakin!) ini sukarela.

Kolekte HPS juga udah rutin setiap tahun kita lakukan. Buat gue, uang jajan gue sehari itu emang masuk ke dalem kantong kolekte buat HPS, since emang kaga bisa beli apa-apa di kantin.

Kenapa gue marah?
Enggak, gue ga marah karena uang yang harusnya buat gue makan malah dikasih orang. Gue malah ga masalah ngasih uang jajan sehari buat ngasih makan orang lain. Seneng gue.  Gue marah karena entah kenapa, kolekte sekarang ini merupakan sebuah kewajiban dan ada target yang harus dicapai.

Gue ga tau dari mana ide ini muncul. Target buat kolekte. Kalo ga terpenuhi harus diisi sampai tercapai. Di mana keikhlasannya? Uang yang akan disumbangkan ga bakal bikin orang bahagia kalau yang memberi aja ga ikhlas!

Kemarin ini, seorang guru masuk di kelas gue dan berceramah tentang kolekte. Beliau berkata kami harus memberikan yang BANYAK seperti anak kelas X ada yang terkumpul satu juta satu kelas. Sebelumnya, beliau masuk ke kelas S2 dan meminta supaya kelas itu menyumbang lebih, padahal sudah terkumpul Rp 160,000.00 di sana. Buat gue, kolekte segitu udah banyak. Kurang banyak apa lagi?
Lalu beliau "mengejek" bahwa kami dapat membeli Blackberry, iPad, dan gadget-gadget canggih lainnya, tetapi untuk kolekte saja tidak mau memberi yang banyak.

Dan di sinilah gue marah besar. Gue merasa sangat tersinggung dengan kata-kata beliau. Ga tau deh kalau temen-temen juga merasa demikian.

First of all, uang yang gue miliki adalah uang jajan yang diberikan oleh orang tua. Buat gue, itu uang milik orang tua gue dan gue ga boleh seenaknya aja menghambur-hamburkan uang itu lalu meminta lagi saenak udel kalo udah gue habiskan entah buat apa.  Gue belom bisa cari duit sendiri! Kalopun gue jualan gelang, ga ada tuh penghasilan sampe lebih dari Rp 50,000.00 per bulan cuz jarang ada yang mau beli dan gue pun masih sibuk sama kerjaan sekolah.

Walau itu uang dari ortu buat gue, gue ga suka memakai uang yang bukan hasil keringet gue sendiri dengan seenaknya. Kalopun gue dapet uang dari menang lomba ato keberuntungan, ga ada tuh yang namanya langsung gue habiskan dalam sekejap.

Gue ga suka beli barang yang mahal, apalagi ga jelas apa kegunaannya buat gue. Kalopun gue mau beli barang buat koleksi such as CD musik A&B dan artist-artist lainnya, novel, dan benda-benda lainnya yang gue koleksi, gue kudu nabung dulu berminggu-minggu. Baru gue beli. Gue ga suka main minta uang sama nyokap. Hidup terlalu gampang kalo apa-apa tinggal minta! Di mana perjuangannya?

Second of all, segala gadget yang gue miliki ga langsung plek dikasih ke gue tepat saat gue minta. Contohnya kamera gue. Itu kamera adalah hadiah karena gue berhasil masuk IPA. Untuk mendapat kamera itu gue berjuang melalui kelas X yang pelajarannya ga manusiawi. Dan akhirnya dengan tertatih-tatih, gue berhasil masuk ke jurusan IPA. Kameranya pun ga langsung ada di depan mata gue pas gue diterima di IPA, gue kudu nunggu dari Juni sampai Desember buat dapetin itu kamera. Itu pula nilai semester satu gue di kelas XI kudu bagus.

Lalu, iPod. Pacar gue yang satu ini gue BELI SENDIRI dari hasil penjualan iPod gue yang sebelumnya, lalu ditombokin dikit sama nyokap. Lalu beberapa minggu setelahnya gue ga berani minta uang jajan.

Dan terakhir, BB. Gue baru dapet pas ultah gue kemaren, juga dengan perjuangan nilai bagus dan menabung.

So, segala barang yang gue punya, apalagi yang ga murah, gue dapatkan dengan perjuangan dan penghematan yang sepelit-pelitnya.

Third, uang jajan gue terbatas, woi! Kalo buat kolekte semua, mau makan apa saya??!!??!! Mana saya mengidap maag stadium parah!!!

Uang itu gampang banget buat dihamburkan, tapi susah banget dicari! Gue tau dan gue mengerti perjuangannya kayak gimana. Karena itu gue anti banget hidup hedon! apalagi yang gue pake adalah uang hasil keringet bokap. Kalo gue pake seenaknya, gue yakin bokap bakal sedih!

Jadi, waktu sang guru bilang kalau pemberian kolekte kita sedikit, padahal untuk ukuran "anak yang belom bisa cari uang sendiri" itu nominalnya udah lumayan, gue sangat tidak setuju! Karena uang yang kita miliki terbatas! Itu uang orang tua, bukan kita.

Ga apa, deh, kalau emang nyisihin SEBAGIAN untuk kolekte, tapi jangan jadi SEMUA, dong. Kalau kita laper, mau makan, bayarnya pake apa?

Emang, sih, bisa minta lagi sama ortu. Tapi, GUE GA SUKA! Karena gue sudah mendapatkan apa yang menjadi hak gue dan dari situ gue harus bisa memanage pengeluaran gue. Masa tiap sebentar uang habis buat kolekte? Ending-endingnya malah hanya mengurusi orang lain, tapi diri sendiri ga keurus, dong!

Pernah ada yang bilang ke gue, "Son, lo kan kaya. Kalo liburan selalu pergi ke luar."
Lalu gue meralat, "Gue mah miskin! Kaya dari mana, sebulan belom tentu bisa dapet seribu dengan perjuangan sendiri. Yang kaya mah bokap gue!"

So, buat kalian, anak-anak yang belom bisa cari uang sendiri, dan mengaku-ngaku kaya, coba pikirin lagi, deh.

Juga buat yang demen hidup hedon, merasa uang berseri, juga dipikirin lagi. Nabung, gitu. Ga selamanya lo berada di atas. Nanti kalo kita udah hidup sendiri, ga ada ortu yang akan memberikan uang sebanyak apapun yang kita mau, gimana?

Untuk kolekte-kolekte selanjutnya, mending ga usah dikasih target dan dibanding-bandingin, deh. Ga etis rasanya. Kolekte kan berdasar dari ketulusan hati. Lagipula, kan ga semua orang punya banyak uang yang bisa direlakan begitu saja, padahal buat ngurus kehidupan sendiri aja belom tentu cukup. Ga lucu dong kalo pada akhirnya ketulusan menjadi sebuah hal yang wajib dan malah secara ga langsung "merusak" diri sendiri.

Peduli boleh. Menyumbang untuk kepedulian, lebih boleh lagi. Tapi jangan nilai kepedulian itu dari nominalnya, tapi dari ketulusan hati.

Bener, lho. Kalo nominal gede tapi ga tulus itu malah jelek! Mending sedikit dan benar-benar dari hati, deh. Baru terasa gitu maknanya. Tapi, sedikitnya juga jangan yang ga manusiawi! Sedikit uang jajan kita boleh deh disisihkan untuk kolekte. Berikanlah seikhlasnya! Jangan ada unsur terpaksa. Tapi, gue rasa anak Sanur mah kalo kolekte pasti ikhlas dan mau menyisihkan uang jajannya demi orang lain yang membutuhkan di luar sana. Kita kan sudah diajarkan nilai kepekaan di sekolah! Masalahnya ya itu cuma satu! Mohonnnnnn jangan diberi target dan dibandingkan, apalagi sampai nominal satu juta. Kalaupun tiap orang di kelas memberikan sepuluh ribu dan jumlah siswanya hanya 31 orang, mana sampai satu juta?

Well, sekian saja ungkapan kekecewaan saya. Mohon maaf kalau ada yang tersinggung. Saya orangnya ga pinter untuk menyampaikan ini secara verbal, maka saya tulis saja di sini. Sekalian supaya ga nimbun penyakit. Soalnya, kalau saya langsung bicara, pasti saya bakal emosi. Dan kalau saya sudah emosian dan marah, saya akan menjadi 100% setan dan sangat destruktif. Seriusan! Jangan pernah mencobai kesabaran saya! Lagipula marah-marah itu kan tidak sehat!

Tambahan:
Hari ini gue pergi ke gereja dan seperti biasa, sepulang gereja mendapatkan warta gereja yang isinya artikel, berita, dan lain-lain seputar gereja, event gereja, dan sebangsanya. Di bagian paling belakang, selalu ada komik tentang Kobus. Kebetulan, tema hari ini adalah tentang menyumbang dan judulnya "Receh".
Ceritanya, Kobus baru selesai belanja. Lalu, ia melihat kotak sumbangan dan berniat untuk menyumbang "receh" yang ia miliki, yaitu, sekeping koin Rp 1,000.00 yang adalah sisa kembalian dari belanjaannya. Lalu, Samson, temannya, dari jauh meneriaki dari jauh untuk mengingatkan Kobus kalau Kobus akan memasukkan receh Rp 1,000.00 ke kotak sumbangan dan itu adalah nominal yang kurang berarti.
Kobus juga tahu kalau Rp 1,000.00 bisa dapat apa sekarang ini. Tetapi, ia tetap akan menyumbangkannya karena sekecil apapun yang ia sumbangkan, pasti bisa berguna buat orang yang menerima. Lalu, Samson mengerti bahwa nominal tidak boleh menjadi masalah dalam menyumbang. Yang penting ketulusan hati. Dan, seberapapun sumbangan yang diberikan PASTI AKAN BERGUNA bagi orang yang menerimanya.

so, NOMINAL DOES NOT MATTER!

Thursday, 13 October 2011

Live-in (part 1): Persiapan dan Konflik Batin


Pergi live in merupakan dilema buat gue. Ga tau kenapa, tapi semangat gue untuk pergi jauh-jauh dari rumah hilang tepat sehari sebelum hari H.
                Persiapan live in pun ga cuma sehari, dan persiapannya itu pun bukan cuma packing baju dan segala peralatan mandi. Persiapan live in sebenernya sudah dimulai dari akhir-akhir kelas XI, dimana kami harus membayar cicilan buat live in sebanyak Rp 750.000,00 per bulan. Kalo gue jadi ortu murid, gue akan stres dengan cicilan ini. Kenapa? Karena cicilan ini diadain SETELAH wisata budaya Bali (yang juga pakai acara nyicil sampai hampir setengah tahun) dan cicilan ini dibarengin dengan cicilan retret. Belum lagi tiap bulan kudu bayar uang sekolah (yang mahal!) dan uang muatan lokal + keterampilan. First of all, bayaran buat Wisata Budaya Bali pastinya enggak murah. Gue jual iPod sama dua hape gue yang lama (si 6600 dan si N81 yang udah enggak berbentuk) baru bisa melunasi biaya karyawisata itu. Kedua, setelah lega enggak ada cicilan tambahan per bulan, tiba-tiba nongol dua kegiatan baru yang juga kudu bayar uang cicilan. Jadi, kalau ditotal-total, bonyok gue mengeluarkan uang yang sangat banyak per bulan demi sekolah gue dan kegiatan-kegiatannya… baik, ya, mereka. J
                Selain membayar cicilan, sedari sebulan sebelum pergi live in, kami dikumpulkan tiap hari senin, dua jam pelajaran terakhir, untuk kumpul bersama teman-teman satu rumah dan satu desa. Kami dibagi dalam empat kelompok desa. Ada Candirejo, Gebang, Tobong, dan Jurangjero. Desa-desa ini terletak di Wonosari. Semua cewe-cewe ditempatkan di Desa Candirejo, Gebang, dan Tobong. Sedangkan para lelaki ditempatkan di Jurangjero. Mengapa demikian? Karena Jurangjero artinya jurang dalam (kalau tidak salah) dan seperti namanya, relief daratannya berupa jurang-jurang (yang dalam). Kalau cewe-cewe ditempatkan di sana, ditakutkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena kebanyakan refleks cewe kurang baik (akibat kurangnya berolahraga).
                Di hari pertama berkumpul, kami dibagi dan diperkenalkan dengan teman satu rumah. Iya, satu rumah diisi oleh dua murid. Diharapkan kedua murid ini bisa saling melengkapi untuk mendalami makna dari live in. biasanya, kalau ada acara beginian, temen-temen yang deket SELALU dipisah. Kemungkinan mereka bisa serumah adalah sangat kecil. Dan gue mulai ga yakin. Kalo gue dapet sama orang yang ga cocok sama gue sih enggak niat deh gue pergi. Eh, waktu disebutin nama gue, “SONIA” lalu dilanjutkan dengan nama housemate gue, “JANET”. Satu hall langsung heboh. Gue pas denger ini pengen ketawa terbahak-bahak, tapi gue tahan. Janet adalah adek angkat gue, tiap istirahat selalu makan bareng, suka jalan bareng, suka cerita-cerita, pokoke deket, deh! Lalu gue bingung…
                Setelah diperkenalkan dengan teman serumah, kami diminta berkenalan sendiri dengan teman kami itu dan mengenali kelebihan dan kelemahan dari si teman. Diberi waktu kurang lebih 15 menit (kalau enggak salah). Gue dan Janet bingung mau kenalan seperti apa lagi. Tiap hari bareng, suka jalan bareng, suka curhat. Apa lagi yang kudu diceritain??!!
                Oiya, selain diperkenalkan degan teman satu rumah, diberi tahu juga kami ada di desa mana dan di grup mana, beserta siapa pembimbingnya. Gue terdampar di Candirejo grup A bersama Ibu Marcel dan Ibu Winarni. Di pertemuan selanjutnya, Ibu Winarni digantikan oleh Ibu Lely, plus ada Ibu Hetty juga yang menemani.
                Selama persiapan-persiapan live in ini, yang kami lakukan adalah ngobrol-ngobrol tentang harapan, apa yang bakal dilakukan, kelemahan, kelebihan, dan macam-macam. Lalu, kami punya lagu kebangsaan yang berjudul One Moment In Time.  Lagunya yang  give me one moment in time
Kenapa lagu itu? Karena lagu ini menggambarkan semua tentang live in. Intinya sih, kita itu pasti bisa memberikan yang terbaik waktu hidup di desa nanti.
                A week before live in. makin pengen cepet-cepet live in! Gue ingin cepat-cepat live in karena gue ingin cepat-cepat terlepas dari kesibukan gue sebagai anak SMA (yang enggak tahan luar biasa sibuknya sampai gue sakit-sakitan). Setidaknya, di sana gue bisa menjauh dari hiruk pikuknya kota.
                Tapi, waktu hari H datang, gue jadi ga yakin mau pergi. I was home alone at the moment. Bokap ama nyokap pergi lagi ke Eropa. Anaknya ditinggal buat pergi ke desa. Beda bener, ya?
                Gue ga yakin pergi bukan gara-gara iri sama bonyok pergi ke Eropa, tapi karena ada satu hal yang belum gue tuntaskan. Satu masalah yang sampai sekarang pun gue masih enggak mengerti penyelesaiannya bagaimana. Really, it’s a dilemma.
                Anyways, mau enggak mau gue kudu pergi. Seminggu meninggalkan rumah KOSONG, walau kunci rumah gue titipkan kepada oom, supaya bisa dicek dua hari sekali keadaan ini rumah, sekalian dibersihkan sama mbak gue. Oiya, gue punya mbak baru, lho. Dan gue merasa seperti kuntilanak di depan dia… kalau gue muncul di dekat dia, dia langsung kabur. GUBRAK!
                Lalu, hari Sabtu, 10 September 2011 datang. Hari itu, semua anak kelas XII dan guru-guru pendamping diliburkan. tidak perlu datang pagi-pagi ke sekolah. For me, it’s a good news and bad news. Good news, gue bisa bangun agak lebih siang. Bad news, GUE GA IKUT KELAS MASAK!!
                Gue minta dibangunin jam tujuh pagi sama mbak gue yang lama (yang baru terlalu takut sama gue buat ngetok pintu kamar gue, takut gue ngerasukin dia kali, ya?). Bangun, gue langsung gosok gigi, cuci muka, dan masuk dapur (pelampiasan enggak ikut kelas masak). Gue sebenernya bingung mau bikin bekal apa. Kami disuru bawa bekal makan malam sendiri karena kami akan bermalam di dalam bus. And truth be told, it’s my first bus trip buat pergi ke tempat yang lumayan jauh. Akhirnya gue bikin chicken with mashed potato, mealnya Garuda Indonesia.
                Pergi ke bandara sehari sebelum pergi live in membuat gue tiba-tiba ngidem mealnya Garuda yang satu ini. Empat penerbangan gue bersama Garuda bulan Juni dan Juli lalu mempertemukan gue dengan makanan ini. Kemarin di bandara gara-gara ada iklannya Garuda City Connect, gue jadi inget Garuda Indonesia dan makanannya. Akhirnya sepulang dari bandara, gue pergi ke supermarket buat beli ayam fillet (hahaha).
                Gue sama sekali ga tau itu ayam dibumbui apa aja! Akhirnya gue bereksperimen. Dimulai dari mashed potato. Kalo yang satu ini sih gue udah ada bayangan kudu dibumbuin apa aja. Tinggal kentang direbus, ditumbuk sampe halus, dikasi mentega, susu, dan garam sedikit. Kemarin mashed potatonya gue tambahkan bawang Bombay, iseng. Si ayam, gue ga ngerti pakai apa saja, gue rebus saja dulu itu ayam, lalu baru gue goreng sebentar dengan bumbu kaldu ayamnya sedikit, kecap manis, minyak wijen, ggl, dan maizena, supaya kuahnya kental. Enak sih, tapi agak keasinan. Malah, mashed potatonya yang kurang asin. Gue bingung, sedari hari itu, gue masak selalu keasinan. Stres!
                Gue masak mulai jam setengah delapan, baru kelar dengan eksperimen agak jam setengah sepuluh. Itupun yang gue bikin pertama kali adalah untuk makan pagi. Bayangkan, buat membuat makan pagi aja sampai berapa jam, sudah sangat kelaparan gue! Setelah makan, gue mandi. Setelah mandi, gue mulai masak buat bekal gue. Bumbunya gue kurangin garam, tapi tetap saja asin! Buat minumnya, gue bikin lemon tea. Sengaja yang asem-asem supaya gue ga beser. 15 jam perjalanan, euy! BSD-Wonosari! Dengernya aja udah stres. Mending kalo gue di pesawat. Mau ke toilet tiap satu menit juga jadi, tinggal pergi ke belakang pesawat. Lha, ini. Busnya kaga ada toilet, berhentinya KATANYA empat sampe lima jam sekali (walo kenyataannya ternyata dua jam sampe tiga jam). Parno duluan dah gue.
                Sebelum meninggalkan rumah, gue masih sempet BBMan sama guru masak gue, Kak Nia. Dia nanyain akhirnya gue bikin bekal apa. Dan dengan bangga gue menjawab kalo gue bikin mealnya Garuda Indonesia dengan pengetahuan perbumbuan super terbatas. Dia ketawa. Katanya, mealnya Garuda, tapi kali ini makannya di darat, ya! Gue juga disuruh mampir ke kelas masak kalau sampai di Sanurnya lebih cepat. Tapi, sayangnya waktu gue sampai di Sanur, dapur sudah kosong. Mau nangis rasanya. :’(

Tuesday, 20 September 2011

Pesan di Botol


                Suatu hari ku berjalan di tepi pantai, menikmati ombak yang berderu tenang bersama angin laut yang berbisik merdu di telingaku, membelai rambutku, mencium bibirku. Aku menghirup nafas dalam, membiarkan aroma laut masuk memenuhi paru-paruku dan biarlah ia di sana. Matahari sudah tidak lagi berada di atas kepalaku, melainkan tepat di depanku, di ujung horizon, siap meninggalkan langit di atasku. Jingga di kaki langit bagai cat yang disapukan di atas kanvas.
               Aku melangkahkan kakiku menuju air yang menyapu-nyapu di bibir pantai. Sesekali air membawa kepiting-kepiting kecil yang kemudian berlomba-lomba untuk kembali ke laut. Aku berjalan lebih jauh, biar setengah lututku terendam oleh air laut.  Sesekali aku harus menahan ombak yang semakin lama semakin tinggi. Aku tidak peduli.
                Aku duduk. Air mengenggelamkan seluruh kakiku dan ombak yang lewat membasahi separuh badanku. Aku tetap melepaskan pandangan ke ujung horizon. Matahari membentuk setengah lingkaran yang sempurna. Dan warna jingganya yang menyala menentramkan hatiku. Aku tersenyum.
                Kututup mataku. Kurasa sekitarku. Ombak datang membawa air pasang dan surut bergantian sesekali. Air yang lewat di sela-sela kakiku terasa begitu dingin, begitu menyegarkan. Angin laut mulai resah karena sebentar lagi ia akan tergantikan oleh angin dari darat. Ia meronta dan bertiup semakin kuat. Tak kudengar suara apa-apa selain ombak dan angin.
                Lalu kurasakan tangannya menggapaiku dari belakang, kemudian ia memelukku erat dan mengecup pipiku. Ia membisikkan kata-kata indah di telingaku. Ia menopang tubuhku untuk berdiri. Tetap, aku dalam pelukannya. Lalu ia memutar badanku menghadapnya.
                “Tetap pejamkan matamu,” katanya.
                Ia membelai pipiku. Dapat kurasa ia tersenyum, dan akupun tersenyum. Lalu ia membelai rambutku dan membawa tangannya menelusuri bahuku, lenganku, dan jari-jari tanganku. Ia kemudian menyelipkan jari-jarinya diantara jari-jariku dan menggenggam erat tanganku. Kurasakan wajahya yang perlahan mendekati wajahku. Dan hatiku berkata benar, ia menciumku.
                Kaget, kubuka mataku.
                Ia tak di sana.
                Tidak ada tangannya yang kugenggam erat, hanya sebuah botol kaca bertutupkan gabus yang berisi segulung kertas.
                Kujatuhkan diriku di atas pasir dan kutatap hitam di atasku. Kulihat ribuan bintang dan sebuah bulan yang tersenyum padaku. Aku tersenyum balik kepadanya, senyuman yang mengejek.
  
Aku belum menyerah.
~Ni@ 09/11

Sunday, 18 September 2011

Pameran Pendidikan Santa Ursula BSD 2011


Tahun ini, Sekolah Santa Ursula BSD kembali mengadakan pameran pendidikan yang bertemakan Dream and Move on.
Kapan dan di mana? Sabtu, 24 September 2011 dan pastinya di SMA Santa Ursula BSD.
Buat yang bingung mau kuliah di mana dan ambil jurusan apa, jangan malu-malu buat dateng! You are more than welcome.. :)

Rekam Langsung Layar komputermu!

Pengen ngerekam langsung apa yang kamu tonton di internet? Ga pernah tau caranya? Sekarang ada JCopia! Software buat merekam langsung apa yang kamu stream di internet! Ga pake ribet, JCopia langsung merekam apa yang lagi kamu stream dan langsung di save di komputermu. Mau video, lagu, apa aja, deh! JCopia bisa merekam semua!

Penasaran?

Ini dowload linknya:


So, tunggu apa lagi, buruan donwload!! :D

Wednesday, 7 September 2011

Eid ul-Fitr

aaaaa~ MAAFFF!!
saya kembali telat nerbitin tulisan (berhubung dua hari off terkapar di tempat tidur tak berdaya). iya, saya kembali sakit untuk kedua kalinya tahun ajaran ini..
eniweiiiss..

Selamat Hari Raya Idul Fitri buat readers blog gue tercintah yang merayakan. Minal Aidin Wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan batin!! (maafkan saya, ya, kalo pernah melakukan salah :s)

eniweis, Lebaran tahun ini buat gue bedaaaaaaaaaa banget sama lebaran tahun-tahun sebelumnya (walo bagian kena FLU BABUnya tetep). entah kenapa, rasanya tahun ini gue bener-bener ikut merayakan Lebaran (walo sejujurnya gue ga tau kalo Lebaranan itu pada ngapain aja).

gue ga pernah ngerayain Lebaran karena gue tidak memeluk agama Islam. i'm a catholic (walo sepertinya akhir-akhir ini rada bandel suka males ke gereja). dan kadang gue suka ga terlalu mempedulikan perayaan keagamaan agama lain, since gue juga ga ngerti apa yang mereka lakukan (dasar gue manusia ga peka). eniweis, tahun ini, gue agak sedikit lebih terlibat (terutama Lebaran ini).

kemarin itu agak terjadi sedikit tanda tanya tentang "di tanggal berapakah sebenarnya Lebaran jatuh??". dan gue juga ikut mempertanyakan soalnya keluarga gue diundang ke rumah seorang pasien bokap buat merayakan Idul Fitri. dan akan sangat enggak lucu kalo ternyata lebarannya jatuh tanggal 31 dan mereka juga akhirnya mengundur acara mereka jadi tanggal 31, lalu tanggal 30nya gue sekeluarga dateng berpakaian rapi, ketok-ketok pintu, dan ternyata mereka masih puasa... i'm gonna look so stupid.

luckily, mereka memutuskan buat tetap mengadakan acaranya tanggal 30, dan datanglah gue ke rumah pasien bokap, Eyang Broto. Tahun-tahun sebelumnya juga gue udah sering mampir di rumah Eyang pas Lebaran, soalnya sama istrinya bokap gue diwajibkan dateng gitu.

and so we went to Eyang's house.

nyokap gue bikinin es sarang burung buat dibawa. rada ga enak tiap tahun dateng tapi ga pernah bawa apa-apa. gue cuma bantu bikin agar-agarnya doang.

Eyang Broto & my fam
malamnya hari itu, gue dan bokap memutuskan buat keliling Jakarta Barat, Selatan, Tengah, buat iseng-iseng doang. and we dragged mom to come to (which is not a really great idea). since in the end mereka memutuskan Idul Fitri jatuh di tanggal 31, otomatis tanggal 30 malam orang-orang pada takbiran. and truth be told, ini PERTAMA KALINYA gue keluar rumah di malam takbiran. sebelumnya gue ga pernah, cuz takut orang-orang rusuh trus jadi serem gitu deh...

sepulang dari ikutan berusuh dan bermacet-macet ria, gue ngerjain mindmap Bahasa Indonesia (tercintah) tentang buku Jalan-Jalan Bali karya Maria Ekaristi dan Agung Bawantara. sebenernya sih materinya tentang resensi (yang sudah sering gue bikin seabrek-abrek di blog gue ini, bedanya ini resensi buku dan gue seringnya bikin resensi perjalanan). ga banyak beda, cuma ngebahas plus minus si buku dan kritik saran. TETAPI, guru Bahasa Indonesiaku tercinta, Ibu Marcel (setelah tiga tahun hidup di SMA Santa Ursula akhirnya ketemu juga), meminta kami membuat sebuah mind map tentang buku itu. ending-endingnya mindmapnya jadi rangkuman. dan gue ga nyangka mindmap satu ini sangat memenuhi kertas A3 sampe uyel-uyelan. nanti kalau sudah jadi gue scan, deh, terus dipost di sini. well, sebenernya ngebuatnya ga sulit, tinggal copy paste daftar isi dan memberi sedikit keterangan. TETAPI, gue baru bikn Kabupaten Badung dengan isi  dari Legian sampe Uluwatu aja udah makan lebih dari seperempat bagian kertas. dan.... masih ada delapan kabupaten lagi yang belum gue bahas. so, harapan bener-bener uyel-uyelan, deh!!

and on 31st August, gue tidak melakukan banyak hal yang berguna. di rumah sedari pagi tanpa kerjaan (padahal peer menumpuk). malemnya gue baru keluar lagi, buat makan malem bersama oma dan cici-cici sepupu. it was my Dad's b'day.



















and the next day, the very first day of September, i woke up at four, can't sleep till six o'clock, and woke up again at nine to find myself unable to walk straight without seeing the world spun around, and i bumped into things. and then i lay on my bed for two days with my whole body aching from top to bottom. virus infection. depressing.









Thursday, 25 August 2011

Snape!

di tengah kesibukan gue, gue menyempatkan diri nonton Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 di hari peringatan kemerdekaan Indonesia kemarin. berhubung hari itu hari libur, gue sempet-sempetin, deh, berhubung gue termasuk yang paling telat buat nonton Harpot.

Harpot kali ini bener-bener bagus! walau emang ceritanya agak terburu-buru. mungkin akan lebih menjiwai kalau baca bukunya. karena itu sekarang gue lagi baca bukunya. dalam dua bulan gue udah sampe pertengahan buku keempat, and fyi, gue baca yang bahasa inggris. gue anti buku terjemahan! bahasanya aneh!

dan di film terakhir dari Harry Potter ini menjawab segala teka teki tentang kegalakan Snape.

truth be told, gue selalu ngefans sama Snape, entah kenapa. rasanya ada sesuatu di balik kegalakkannya sama Harry, dan ternyata feeling gue bener! SNAPE EMANG BAIK!! *spoiler*

(buat yang belom nonton ato belom baca bukunya dan ga mau dispoiler, mending ga usah baca kelanjutan tulisan gue ini)

ternyata Snape cinta mati sama Lily, nyokapnya Harry. dan dialah orang yang paling terpukul saat kematian Lily. Patronusnya Snape aja sampe sama sama Patronusnya Lily!! a Doe, rusa betina. (walo sebenernya gue bingung waktu si Harry bilang kalo patronusnya snape sama sama patronus nyokapnya, soalnya sebelum-sebelumnya kaga ada yang bilang kalo patronusnya Lily itu Doe)


lalulalulalu....
ternyata si Snape dan Dumbledore udah ngerencanain semuanya sampe waktu Snape ngebunuh Dumbledore. mereka ngerencanain ini supaya pada akhirnya Harry bisa leluasa mengalahkan om Voldy (Voldemort).
Kenapa dumbledore nyuruh Snape ngebunuh dia? sejujurnya gue ga tau lengkapnya karena belom baca bukunya sampe akhir!! Tapi, ending-endingnya Snape DIBUNUH sama si VOLDY (jelek ada upilnya!!!) gara-gara Voldy ngira Snape yang ngebunuh Dumbledore, pemilik Elder Wand sebelum jatuh ke tangan Voldy. dan sekarang si Elder Wand ga mau patuh sama Voldy karena si tongkat maunya patuh sama orang yang udah ngalahin majikannya sebelumnya. Jadi, Voldy ngeSECTUMSEMPRA Snape!!!

GYAAAAHHH~

padahal Sectumsempra itu spell ciptaan Snape sendiri... dan si Voldy saenak idungnya dewe ngebunuh penciptanya pake spell yang sama!! mana pake embel-embel "you have been a good servant to me.." lagi...
pengen gw colokin tongkat sihir dah itu ke idung si Voldy!! groar groar...

and his last words to Harry were "Look at me.."
dia pengen mati ngelihat matanya Lily, the woman whom he'd always loved till the very end, yang tersisa tinggal di mata Harry, anaknya. :'(


gue PENGEN BANGET NANGIS pas nonton di bioskop!! tapi ga bisa!! padahal biasanya gue nangis aja ga peduli tempat!! aaaaaa~ dasar emang perasaan gue lagi campuraduk!! sampe mau nangis aja ga bisa!! :(

apalagi yang adegan Snape meluk Lily pas nemuin Lily udah ga bernyawa setelah dibunuh Voldy..... GUE PENGEN NANGIS MERAUNG- RAUNG DI BIOSKOP!!


AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.....
GUE JADI GALAU LAGI DAH NGETIK INI TULISAN SATU.... HIKSSSSS~

ga nahan gue ngefans berat sama Snape. gue jadi pengen sekolah di Hogwarts terus Potions adalah pelajaran favorit gue. ga peduli dah! mungkin kalo gue masuk Griffindor, gue satu-satunya Griffindor yang demen sama Snape. dan yakin banget gue akan dibenci satu common room. dan semua akan menganggap The Sorting Hat salah naro gue.

sebenernya si Snape itu udah opa-opa! fiksinya, dia lahir taon 60... WHICH IS VERY FAR AWAY FROM ME...
dan pemeran aslinya adalah opa-opa lahiran taon 46....
no offense buat pemerannya, tapi buat saya anda udah opa-opa........ walo masih lebih tuaan opa saya, sih... jauh...

eniweis, gue demen sama karakter Snape ini. :3
MISTERIUS! dingin, diem, kalem, tenang, TEGAS! tapi nun jauh di hati dia, dia adalah orang baik. :)
waktu dia jadi kepseknya Hogwarts, itu sekolah jadi Sanur banget! (hahaha) serba disiplin, lalala. cara barisnya aja sama!

more about Snape di Harpot Wikia aja...

setelah nonton harpot ini, gue makin kecanduan sama Harpot (dan Snape). komputer gue penuh sama gamenya Harpot. sebelum nonton sih udah gue donlot-donlotin dulu. sayangnya yang harpot ketujuh tidak dapat dimainkan karena VGA card gue ga compatible *sedih*.
gue makin kecanduan baca bukunya, sampe-sampe lupa waktu baca Harpot mulu. and of course, gue main Harry Potter Lego di iPod.

di kelas gue makin sering meneriakkan berbagai macam spells yang gue tau (which is pretty ga normal). terus gue suka galau sendiri kalo ada yang ngomongin Snape.... :|

lalu, tadi siang, waktu ngeles, tetep dengan topik mantra-mantra Harpot, gue ngobrol sama Diana. terus waktu itu Diana nanya soal mantra yang dipake Harry buat bikin Goblin di Gringgots jadi mau ngikutin apa yang dia mau. Waktu baca Goblet of Fire kemaren, gue menemukan kalo di Moody nunjukkin ke anak-anak tentang itu mantra. namanya Imperio, Imperius Curse, salah satu dari mantra-mantra gelap yang dilarang.

terus gue bilang kan kalo si Snape dibunuh sama Voldy pake Sectumsempra, mantra yang diciptain sama Snape sendiri. terus, gue inget Snape nyiptain mantra lain buat dueling. gue tau soalnya gue main PC gamenya Harpot and the Half Blood Prince. nama spellnya Levicorpus. itu bisa bikin lawan lu keangkat terus jadi terbalik.

hnah, si Diana dengernya itu mantra bisa bikin lawan lu keangkat terus KE BALI.
dia nanya ulang, "APA? KE BALI?!"
gue bingung dong, kok ke bali?? "KEBALIK, MBAK!"

ending-ending dari percakapan kami adalah ngarang mantra buat bikin orang KEANGKAT terus KE BALI.
Baliarmus, lah. dan ada lagi yang lain, gue lupa.
mungkin akan sangat lucu kalo emang ada itu mantra n bisa dipake. kalo mo karyawisata ke bali, minta potongan kaga bayar tiket pesawat, tinggal arahin tongkat ke diri sendiri terus teriak BALIARMUS, langsung deh lu di Bali. tinggal nunggu yang lain (yang mungkin baru nyampe check-in counter).

lalu, Expecto Patronum nya diganti jadi, EXPECTO BALINUM. lalu, dari ujung tongkat akan keluar... BARONG! diikuti dengan suara GAMELAN BALI...
ga nahan imajinasi gue sama Diana siang tadi rada-rada ga normal. sampe-sampe satu setengah jam les cuma ngebuat delapan nomor soal.

ah! enough with the imajinasi ngaco! gue pengen cepet-cepet kelarin baca Harpot! *bahahaha*
libur lebaran gue sebenernya ga nyantai, nih. KERJAANNYA OMG!!! SEABREK-ABREK!!! mana kaga bisa ke mana-mana since mbak-mbak gue mudik semua. nyapu ngepel dehhh.....

ending:
gue nemuin sesuatu pas lagi gugel-gugel foto snape buat ditaro di sini...

LEGO SNAPE!

tersesat menuju pesta ultah Voldy....

Power Puff Snape :/

ini scene dari Half Blood Prince waktu Dumbledore disuruh minum air buat ngambil hocrux.
GA NAHAN INI MUKA SEREM BANGET!